Rabu, 26 November 2014

Seni Tari(beksan)
Karaton Kasunanan

Seni tari di Karaton Kasunanan Surakarta bukan semata olah gerak yang estitis saja, tetapi juga merupakan olah gerak batin, para penari juga dibekali dengan olah gerak maupun irama batin yang seimbang apalagi kalau sudah menarikan tarian klasik ( Bedhaya yang dianggap sakral itu ) seni tari dalam bahasa disebut “ Kagunan Beksa “ menurut etimologi Jawa berarti “ Hambeging Roso “ yaitu nuasa rasa sebagai jiwa didalam rasa yang diekpresikan dalam suatu gerak.  
Adapun jenis-jenis tari yang dipandang sebagai hasil budaya karaton yaitu :  
Description: http://karatonsurakarta.com/Tari_beksan1.gif
Bedhaya Anglirmendhung
Selain bedhaya ketawang di Karaton Surakarta dikenal pula Bedhaya Anglirmendung. Tari ini menurut RT. Warsodiningrat juga memiliki kemanak, katanya asal Mangkunegara sisa dari Anglirmendung. KGPH Hadiwijaya berpendapat kalau tidak salah Anglirmendung itu adiknya “ Bedhya Ketawang “ ditilik dengan adanya persamaan yang seprinsip :
a.       Nama ( anglir ) mendhung = awan, terdapat dari mendhung = awan adalah langit (ke) tawang = langit, kurungnya mendung = awan.
b.      Kemanak sama-sama ngangkang, bersuara menggema nyaring.
c.       Joged = tariannya sama-sama 3 babak. Anglirmendung adegan pertama = babak pertama juga kendang besar, lungit, tenteram, regu, wingit, eznsting.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Anglirmendhung itu “ adik “ disebabkan Katwang itu suatu Bedhaya yang penarinya 9 sudah dewasa, keluarnya setahun hanya sekali di Pendapa Agung Sasanasewaka ( trohwhaal ) yang menghadap nagkil dalam keadaan berpakaian kebesaran. Anglirmendung, srimpi seniwatinya hanya 4 masih perawan jumagar ( remaja putri ), gebyagannya sewaktu-waktu dan tempatnya sekehendak saja. Yang terpenting sekali bahwa kedua-duanya sama-sama melati berkekuatan gaib serta bertuah. Menurut keterangan RT. Warsodiningrat Anglirmendung itu hanya pada jaman Surakarta saja, gubahan KGPAA Mangkunegara I dinamakan Bedhaya, penariwati 7. Kemudian dipersembahkan ke Karaton Surakarta, kemudian oleh Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV dijadikan srimpi.
GPH Puger menjelaskan bahwa Anglirmendung itu harusnya banyak. Bedhaya kalau dilihat dari perkataannya sendiri seperti itu Anglir seperti Mendhung. Mendhung sendiri sudah jelas “ wis ngarani “ kalau cara Jawa seperti “ dung “ sendiri kita bisa menginterprestasikan seperti mendung. Daya tariannya justru remang, mendung sendiri bersifat remang-remang. Atau diluar gerak lalu ke konteks, mungkin didalam simbolnya menceritakan kesedihan. Menurut catatan yang tersimpan di peroustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, sejak jaman RM. Garendi di Kartasura, setiap memperingati Wiyosandalem, gending Ketawang Alit Anglir Mendung menjadi iringan baku dalam upacara Wilujengan Wiyosandalem.
Catatan sejarah menjelaskan bahwa gending Ketawang Ali Anglir Mendung itu dimulai sejak jaman Pangeran Sambernyawa menjadi KGPAA Mangkunegara I, dan seterusnya diikuti oleh Mangkunegara II dan III, gending ketawang alit anglir mendung dan sekaligus penarinya menjadi Pusaka Pura Mangkunegaran. Bedhaya ini merupakan langen praja adi dan dipentaskan setahun sekali bertepatan dengan Wiyosandalem Ingkang Jumeneng Mangkunegara di Pendapa mangkunegaran.
Pada pemerintahan KGPAA Mangkunegara I yang didampingi oleh anak Tumenggung Mlayakusuma, yaitu Kyai Secakarmo dan Kyai Kidangwulung, pada saat itulah kedua pendamping KGPAA Mangkunegara I itu mampu menciptakanBedhaya Anglir Mendung. Karena jasanya itu oleh KGPAA Mangukenegara II, kyai Secakarmo dan adiknya Kyai Kidangwulung diangkat menjadi Demang didaerah Kabupaten Sukoharjo. Dan akhirnya keduanya meninggal dimakamkan diastana nguter dan astana Baron. Hingga sekarang makam Secakarma menjadi pepundhen para dalang dan seni karawitan, sedang makam kyai Kidangwulung menjadi pepundhen para penari dan seniwati. Pada pemerintahan KGPAA Mangkunegara III, gending Anglir Mendung gemanya berkurang, lalu Surakarta Hadiningrat muncul gending Srimpi Anglir Mendung, yang penarinya berjumlah 4 orang.
Pada saat Ingkang Sinuhun Paku Buwana V ( 1784 – 1823 ) yang memang berdarah Madura, karena baginda adalah putera Ingkang Sinuhun PB IV dengan permaisurinya Kanjeng Ratu Adipati Anom, puteri Raden Adipati Cakraningrat, bupati Pemekasan Madura dicipatkan tarian Srimpi India Madura. Bedhaya dan srimpi tersebut di atas hingga sekarang masih dilestarikan oleh Karaton Surakarta. Untuk pembinaan setiap hari minggu di bangsal Marakata dilaksanakan pelajaran menari untuk umum ( anak dana dewasa ) dengan bimbingan GRA Koesmurtiyah. Dan pada hari selasa kliwon menjelang Jumenengan Dalem dilaksankan latihan Beksan Bedhaya Ketawang di pendapa Sasanasewaka. Dengan dilestarikannya jenis tari yang bersifat sakral, religius dan magnis itu membawa daya tarik tertentu bagi para wisatawan untuk menikmati dan menghayati secara langsung maupun tidak langsung ( melalui rekaman vidio ) serta mewarnai jenis tari Srimpi yang berada diluar Karton, terutama dalam menyambut tamu di pertemuan-pertemuan resmi atau resepsi perkawinan.


Bedhaya Pangkur.
Sebelum tari ini diciptakan, iringan musiknya terlebih dulu. Komposisi musik ini disebut “ Gendhing Kemanak Raras Slendro Pathet Pangkur “ dengan lirik “ Sekar Macapat Pangkur “, yang diciptakan oleh Sri Sunan Paku Buwana I pada tahun 1705 – 1710. Kemudian tari Bedhaya diciptakan oleh Sunan Paku Buwana IV ( 1987 – 1820 ) selaras musik yang mengiringinya. Dengan berjalannya waktu, tari ini mengalami banyak penambahan dan selama pemerintahan Sunan Paku Buwana X ( 1893 – 1939 ), liriknya mengalami adaptasi bahasa. Dan tari yang akan diperagakan ini merupakan ciptakan terakhir dari masa Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana X di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Selain menunjukkan keindahan gerakan dan puisi tentang percintaan, Bedhaya Pangkur ini, seperti tari-tari Bedhaya lainnya juga mempunyai makna simbolis, misalnya bahwa manusia di dunia ini harus selalu mampu mengendalikan keinginannya sehingga dia dapat memperoleh kehidupan yang baik hingga akhir hayatnya. Keinginan manusia digambarkan 9 penari wanita sebagai perlambang dari 9 lubang dibagian dalam tubuh manusia yang mengendalikan keinginan manusia.
Bedhaya Duradasih.  
Description: http://karatonsurakarta.com/Tari_beksan2.jpg
Tari bedhaya duradasih ini diciptakan oleh Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IV, sebelum belio menjadi Raja di Karaton Surakarta. Pada waktu itu, belio masih bernama Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Amengkunagara. Nama “ Duradasih “ muncul pada waktu Paku Buwana IV menjadi putra Mahkota. Ayah andanya, Paku Buwana III memerintahkannya untuk mempersunting Raden Ajeng Handaya, seorang putri dari Madura, yang pada mulanya menolak, tetapi pada akhirnya sang putri jatuh hati padanya. Kisah ini digambarkan dalam tari Bedhaya Duradasih. Tari bedhaya duradasih mempunyai ciri yang istimewa karena tari ini di iringi instrumen yang disebut “ Kamanak “. Instrumen ini berbentuk pisang ( tong-tong ) dengan lubang panjang yang terbuat dari perunggu dan diciptakan pada tanggal, 30 bulan Dulkaidah 1707 tahun Jawa. 
Selain menunjukkan keindahan gerakan dan lirik, tari bedhaya duradasih ini mengandung pesan bahwa manusia harus mampu mengendalikan keinginannya agar dia dapat memperoleh kehidupan yang sempurna. 
Keinginan itu dilambangkan oleh 9 penari wanita yang melambangkan 9 lubang di dalam tubuh yang mengendalikan keinginan manusia
Beksan Bedhaya Sukaharja
Komposisi musik Beksan Sukaharja diciptakan Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX, tidak lama setelah belio dinobatkan menjadi putra mahkota, pada hari senin tanggal, 27 bulan Jumadilakir 1790 tahun Jawa. Tari ini diciptakan pada purna bangun pasanggrahan Langenharja, komposisi musik dan tari diselesaikan pada 1802 tahun Jawa yang ditandai dengan Candrasengkala ( simbol ) “ Kembar Kaluhuraning Sarira Nata “ atau pada tahun 1873. Dengan memberikan simbol dalam bentuk kalimat diatas, Raja bermaksud menandai purna bangun pesanggrahan dan pada waktu yang sama penciptaan komposisi musik dan beksan ( tari ). Kata Langenharja artinya bahwa belio membangun Pesanggrahan sebagai tempat hiburan. Jadi Pesanggrahan juga dapat menyediakan hiburan bagi masyarakat disekitarnya. Nama Sukaharja yang diberikan pada komposisi musik dan tari tersebut mengandung makna bahwa keberadaan Langenharja juga mengandung makna “ Hasesuka Karaharja “ yaitu untuk menciptakan kemakmuran dengan menciptakan komposisi musik dan tari.
Komposisi musik dan beksan bedhaya sukaharja ditampilkan pertama kali di Pasanggrahan Langenharja dan kemudian di Sasana Sewaka karaton Surakarta sebagai suatu bentuk resepsi bagi para tamu dari Nedherlands, karena pada upacara pembukaan pasanggrahan Langenharja, pemerintah Belanda tidak mempunyai kesempatan untuk mengirimkan delegasinya. Nama lengkap tari yang diciptakan oleh Paku Buwana XI adalah beksan bedhaya sukaharja, diiringi oleh komposisi musik gending Sukaharja Laras Pelog Pathet Nem. Pada tahun 1988, putri Dra. GRAJ. Koes Murtiyah, tanpa mengurangi gerakan dasar membuat sediki perubahan untuk menyesuaikan tari dengan kondisi dan situasi yang berubah, atas ijin ayah andanya, Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana XII.
Fragmen Kusumayuda
Kusumayuda merupaka tari drama yang didasarkan pada kisah Mahabarata. Tari ini diciptakan oleh Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana V (1820-1823) di Karaton Surakarta Hadiningrat. Tari ini menggambarkan dua serdadu dari keluarga Pandawa: Raden Gathutkaca dan adiknya Raden Abimanyu, yang dalam perjalanan mereka ke medan perang dihadang oleh sekelompok raksasa dari kerajaan Bantar Angin. Dalam tari, Raden Abimanyu yang sedang bermeditasi, diganggu oleh raksasa-raksasa itu dan akibatnya terjadilah pertempuran. Raksasa-raksasa itu dapat dihancurkan setelah kedatangan Raden Gathutkaca.
Tari itu menggambarkan bahwa dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita, manusia selalu menghadapi gangguan-gangguan. Oleh karena itu, manusia harus mampu mengatasi gangguan-gangguan itu untuk mencapai cita-cita yang mulia.
Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X (1893-1939), sang Raja menyisipkan dialog singkat untuk memperindah tarian ini.
Sendratari Arjuna
Adegan pertama menggambarkan situasi di negara Imaimantaka, dimana Prabu Niwatakawaca sedang mengadakan pertemuan dengan patih Mamangmurka dan para serdadu raksasanya. Dalam pertemuan itu, prabu Niwatakawaca mengungkapkan kebahagiaannya karena ia berhasil mempersunting seorang puteri dari surga, Dewi Prabasini. Akan tetapi, dibalik kebahagiaannya itu, Prabu Niwatakawaca merasa cemas karena Dewi Prabasini telah memintanya untuk membatalkan perkawinan itu meskipun sang prabu juga jatuh hati pada Dewi Supraba
Setelah melakukan pertimbangan yang dalam, prabu Niwatakawaca mencari alasan bahwa para dewa dari surga tidak akan pernah mengijunkan Dewi Supraba untuk menikah dengannya dan para dewa itu akan mencari “seorang pahlawan “ untuk menggantikannya. Pahlawan itu adalah Raden Arjuna yang sedang bermeditasi di puncak gunung Indrakila. Prabu Niwatakawaca pergi kesurga untuk menemui para dewa dan minta ijin untuk menikahi Dewi Supraba. Pada waktu yang sama, Patih Mamangmurka pergi ke gunung Indrakila untuk membunuh Arjuna yang sedang bemiditasi.
Adegan kedua menggambarkan Arjuna yang sedang bemeditasi di gunung Indrakila, dimana dia sedang digoda oleh jin dan hantu, tetapi mereka tidak berhasil. Kemudian para dewa, yang sedang mencari Arjuna untuk menaklukan Niwatakawaca, mengutus para Dewi dan malaikat untuk menggodanya untuk menguji ketulusan meditasinya. Namun mereka juga tidak berhasil.
Kemudian Patih Mamangmurka datang, kadang-kadang muncul sebagai celeng dan kadang-kadang sebagai dirinya. Patih Mamangmurka berhasil menbangun Arjuna dengan usaha dan ilmu sihirnya. Untuk mengalahkan Patih Mamangmurka, Arjuna memanahnya. Pada waktu yang bersamaan, sebuah anak panah yang mirip dengan anak panah Arjuna menancap ditubuh Patih Mamangmurka. Anak panah ini adalah milik ksatria tampan bernama Keratapura, yang juga seorang pemburu celeng. Akhirnya, mereka berdebat dan pertempuran antara keduanya pecah. Keretapura memenagkan pertempuran ini. Arjuna sangat terkejut ketika dia tahu bahwa Keratapura adlah Bathara Guru yang sedang menguji ketulusan dan minta maaf atas tindakannya, Bathara Guru memberinya sebuah anak panah bernama”Pasopati”. Bersama dengan Dewi Supraba, Arjuna kemudian berhasil menaklukan Niwatakawaca.
Dalam adegan terakhir, Prabu Niwatakawaca sedang besenang-senang dinegaranya, setelah dia kembali dari surga, karena para dewa berjanji untuk memberinya Dewi Supraba. Dia tidak mengetahui bahwa hal itu hanyalah tipuan belaka. Tiba-tiba, Dewi Supraba muncul dan mengatakan pada Prabu Niwatakawaca. Mendengarkan pernyataannya itu, Prabu Niwatakawaca sangat bahagia dan bangga, sehingga ketika Dewi Supraba menanyakan kelemahannya dengan setengah sadar Prabu Niwatakawaca berkata kbahwa kelemahannya terletak pada bagian atas mulutnya yang disebut “ Aji Ginengsokawedha”. Sehubungan dengan kegembiraannya, prabu Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Pada waktu itu Arjuna memanah Pasopatinya. Akhirnya Niwatakawaca tewas dan kejahatan lenyap dari dunia.
Fragmen Ramayana
Tari ini diciptakan oleh Dra. GRAj. Koes Moertijah, putri Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana XII. Tarian ini menceritakan kisah Rama Wijaya putra mahkota kerajaan Ayodya yang permaisurinya diculik oleh Raja Alengka, Prabu Rahwana.
Adegan pertama berlangsung dikerajaan Alengka; Rahwana memerintahkan Kala Marica untuk memperdayai Rama dan Lesmana, adik laki-laki Rama agar dia dapat menculuk Sinta. Rahwana ynag tergila-gila pada Sinta dan dia percaya bahwa Sinta adalah reinkarnasi dari Bathari Widawati.
Adegan kedua berlangsung di hutan Dhandaka. Kala Marica menyamar menjadi Rusa Emas. Dia dapat memisahkan Sinta dari Rama, akhirnya Rahwana berhasil melarikan Sinta. Seekor burung bernama Jatayu, melihat Rahwana sedang membawa Sinta. Dengan segera Jatayu menolong Sinta. Tetapi Jatayu kalah dalam pertempuran dan tewas didepan Rama dan Lesmana. Lalu rama memerintahkan Anoman, kera putih, yang diperintahkan Rama untuk menyampaikan sebuah cincin sebagai lambang  kesetiannya, datang dan mengatakan pada Sinta bahwa Rama dan serdadunya akan datang ke Alengka untuk menyelamatkannya.
Adegan berikutnya menggambarkan Sinta ditaman Soka di kerajaan Alengka. Dia ditemani oleh Trijatha dan dia dipeksa untuk melayani rahwana tetapi dia tidak pernah menurutinya. Setelah Rahwana pergi, Anoman datang untuk menyampaikan pesan Rama pada Sinta. Sinta mengirimkan “Kancing gelug” sebagai lambang kesetiannya pada Rama. Tetapi Anoman terlihat oleh serdadu Alengka. Kemudian pertempuran pecah. Akhirnya Rahwana bertempur dengan anoman. Anoman hampir kalah, tetapi pada akhirnya dia dapat meloloskan diri dari Alengka.
Beksan Wireng Bandayuda
Beksan atau tari ini diciptakan di bawah pemerintah Hingkang Sinuhunan Paku Buwana IV (1787-1820) di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Tari ini diilhami oleh Tari Wireng Lawung, yang diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram (1613-1645), yang menggambarkan empat serdadu yang berlatih perang dengan menggunakan tombak. Dalam Tari Wireng Bandayuda ini, tombak diganti dengan “Bhindi” atau tongkat pendek yang digunakan dengan “Tameng” atau perisai yang terbuat dari rotan.
Tari ini juga mengandung makna simbolik tentang empat nafsu manusia: amarah, aluamah, supiah, dan Mutmainah, yang secara bergantian mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia harus selalu waspada dan mengendalikan nafsunya untuk mencapai kehidupan yang sempurna.
Pada masanya (1861-1893), Hingkang Kangjeng Susuhunan Paku Buwana IX memperkaya tari ini dengan mengganti “Bhindi” dengan “Pedang” dan mengganti nama tarian itu menjadi “BANDABAYA”.
Klana Topeng
Tari ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, seorang pemimpin saleh yang mengajarkan Islam di Jawa
Tarian ini telah ada sejak periode Kerajaan Pajang, yang dilanjutkan hingga periode Mataram, kemudian periode Kartasura  hingga periode Surakarta. Pada periode pemerintahan Paku Buwana V di karaton Surakarta (1820-1823), tari-tarian yang berasal dari kisah Panji berkembang dengan pesat. Ada beberapa tari dan drama yang diciptakan berdasar kisah Panji, seperti Klana Gandrung, Klana Sembunglangu, Kilapawarna dan sebagainya. Tari Klana Topeng berkisah tentang seorang Raja yang jatuh cinta kepada seorang puteri bernama Dewi Sekartaji. Akan tetapi dalam tarian ini dewi Sekartaji tidak muncul.
Tari ini melambangkan bahwa manusia yang hidup didunia ini seharusnya jangan menginginkan sesuatu yang di luar kemampuannya. Tari ini mengingatkan kita untuk mengoreksi diri melalui kemampuan dan kelemahan kita untuk mencapai cita-cita. Dalam perkembangannya, tari Klana dapat ditarikan tanpa menggunakan topeng
Fragmen Panji Topeng Kilapawarna
Tarian ini diciptakan pada masa Hingkang Sinuhun Kangjeng Paku Buwana V (1820-1923).
Dewi Kumudaningrat, putri raja Ngurawan mengadakan lomba untuk menghindari pernikahaannya dengan Raja Bantarangin, Prabu Klana Sewadana. Sang putri dapat memenuhi keinginan Prabu Klana jika sang putri didampingi seorang ksatria tampan tanpa cacat pada pesta perkawinan itu. Pada waktu yang sama seorang putri Kediri Dewi Candrakirana, menghilang entah kemana karena dia sangat kehilangan kekasihnya, Raden Panji Hinukertapati, putra Raja Jenggala. Sebenarnya Sang Puteri menghilang atas kehendak Dewata .
Sang putri menjadi seorangh pria tampan bernama Kilaparwana, dengan pesan untuk membantu orang lain. Raden Panji Hinupakarti yang sedang berdukacita yang dalam sedang mencari Dewi Candrakirana. Atas keinginan Jawata, dia diperintahkan untuk mengabdi di Kerajaan Ngurawan, dengan menyamar sebagai Demang Turibang bersama dengan adik laki-lakinya, Panji Anom, yang menyamar sebagai Sinom Pradaoa. Ditaman Ngurawan Panji Anom bertemu Kumudaningrat, dan dia muncul sebagai dirinya sendiri ketika mereka saling jatuh cinta. Pada waktu yang sama Klana Sewadhana datang bersama Demnag Turibang, ksatria tampan tanpa cacat yang akan menemaninya dalam perkawinannya dengan Kumudaningrat. Prabu Klana sangat sedih ketika melihat Panji Anom intim dengan Kumudaningrat.
Dia menyerang Panji Anom. Demang Turibang terkejut dan dia mengubah dirinya kembali sebagai Panji Hinukaparti. Mereka berdua bertempur melawan Ngurawan. Hinupakarti bertemu dangan Candrakirana dan Panji Anom mendapatkan Kumudaingrat.
Beksan Wireng Gathutkaca Gandrung                                                                     Beksan Wireng Lawung  
Tari ini dicipkatan oleh Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana IV (1787-1820). Beksa Wireng seorang ksatria dari keluarga Pandawa : Raden Gathutkaca yang jatuh cinta pada Dewi  Pregiwa. Tari ini menunjukkan kekuatan seorang ksatria ketika dia jatuh cinta. Penari melantunkan puisi, yang melambangkan kerinduan kepada kekasihnya.Tari ini mengingatkan manusia agar waspada terhadap segala sesuatunya yang dapat memperlemah kekuatannya.  
Tari ini merupakan salah satu bentuk dari beberapa tari Wireng. Tari merupakan warisan dari tari-tari yang diciptakan oleh Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo di Karaton Mataram tahun 1613-1645. Tari ini menggambarkan latihan perang oleh empat orang serdadu dengan menggunakan tombak. Tari ini menunjukkan keindahan gerakan para serdadu yang menggunakan tombak. Tari ini dipengaruhi oleh kepahlawanan Sultan Agung, yang dengan gigih mempertahankan bangsa dan negaranya.Beksan 
Wireng Lawung juga mempunyai makna simbolik tentang keberadaan empat nafsu manusia yang secara bergantian mempengaruhi kehidupan manusia. Tari ini mengingatkan kita bahwa manusia harus mampu mengendalikan. Dalam masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X tarian ini diperpendek sehingga tidak membosankan.
Beksan Pethilan Srikandi Mustakaweni
Tari ini dibawakan oleh para wanita yang menari berpasangan. Tari ini berkisah tentang dua putri raja dari kisah Mahabarata: Srikandi (istri Arjuna) yang diperintahkan oleh Kresna untuk mencari pencuri “Jimat Kalimasada” yang bernama Mustakaweni. Sewaktu keduanya saling bertatap muka, mereka adu kekuatan gaib. Tetapi tidak satupun yang menang.
Tari ini juga menggambarkan dua kekuatan dari putri raja yang berasal dari satu keluarga. Tari ini diciptakan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana XII.
Beksan Wireng Garudha Yakso
Tari ini menggambarkan seorang raja dari Alengka: Rahwana yang jatuh cinta pada Sinta, tetapi cintanya tidak pernah disambut. Tari ini menggambarkan keberanian dan kekuatan seorang raja ketika dia jatuh cinta dengan seorang wanita. Tarian ini diciptakan oleh R.T. Tondo Kusumo atau S. Maridi. Pada waktu Kangjeng Susuhunan Paku Buwana XII.

Seni Tari(beksan)
Karaton Kasunanan

Seni tari di Karaton Kasunanan Surakarta bukan semata olah gerak yang estitis saja, tetapi juga merupakan olah gerak batin, para penari juga dibekali dengan olah gerak maupun irama batin yang seimbang apalagi kalau sudah menarikan tarian klasik ( Bedhaya yang dianggap sakral itu ) seni tari dalam bahasa disebut “ Kagunan Beksa “ menurut etimologi Jawa berarti “ Hambeging Roso “ yaitu nuasa rasa sebagai jiwa didalam rasa yang diekpresikan dalam suatu gerak.  
Adapun jenis-jenis tari yang dipandang sebagai hasil budaya karaton yaitu :  
Description: http://karatonsurakarta.com/Tari_beksan1.gif
Bedhaya Anglirmendhung
Selain bedhaya ketawang di Karaton Surakarta dikenal pula Bedhaya Anglirmendung. Tari ini menurut RT. Warsodiningrat juga memiliki kemanak, katanya asal Mangkunegara sisa dari Anglirmendung. KGPH Hadiwijaya berpendapat kalau tidak salah Anglirmendung itu adiknya “ Bedhya Ketawang “ ditilik dengan adanya persamaan yang seprinsip :
a.       Nama ( anglir ) mendhung = awan, terdapat dari mendhung = awan adalah langit (ke) tawang = langit, kurungnya mendung = awan.
b.      Kemanak sama-sama ngangkang, bersuara menggema nyaring.
c.       Joged = tariannya sama-sama 3 babak. Anglirmendung adegan pertama = babak pertama juga kendang besar, lungit, tenteram, regu, wingit, eznsting.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Anglirmendhung itu “ adik “ disebabkan Katwang itu suatu Bedhaya yang penarinya 9 sudah dewasa, keluarnya setahun hanya sekali di Pendapa Agung Sasanasewaka ( trohwhaal ) yang menghadap nagkil dalam keadaan berpakaian kebesaran. Anglirmendung, srimpi seniwatinya hanya 4 masih perawan jumagar ( remaja putri ), gebyagannya sewaktu-waktu dan tempatnya sekehendak saja. Yang terpenting sekali bahwa kedua-duanya sama-sama melati berkekuatan gaib serta bertuah. Menurut keterangan RT. Warsodiningrat Anglirmendung itu hanya pada jaman Surakarta saja, gubahan KGPAA Mangkunegara I dinamakan Bedhaya, penariwati 7. Kemudian dipersembahkan ke Karaton Surakarta, kemudian oleh Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV dijadikan srimpi.
GPH Puger menjelaskan bahwa Anglirmendung itu harusnya banyak. Bedhaya kalau dilihat dari perkataannya sendiri seperti itu Anglir seperti Mendhung. Mendhung sendiri sudah jelas “ wis ngarani “ kalau cara Jawa seperti “ dung “ sendiri kita bisa menginterprestasikan seperti mendung. Daya tariannya justru remang, mendung sendiri bersifat remang-remang. Atau diluar gerak lalu ke konteks, mungkin didalam simbolnya menceritakan kesedihan. Menurut catatan yang tersimpan di peroustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, sejak jaman RM. Garendi di Kartasura, setiap memperingati Wiyosandalem, gending Ketawang Alit Anglir Mendung menjadi iringan baku dalam upacara Wilujengan Wiyosandalem.
Catatan sejarah menjelaskan bahwa gending Ketawang Ali Anglir Mendung itu dimulai sejak jaman Pangeran Sambernyawa menjadi KGPAA Mangkunegara I, dan seterusnya diikuti oleh Mangkunegara II dan III, gending ketawang alit anglir mendung dan sekaligus penarinya menjadi Pusaka Pura Mangkunegaran. Bedhaya ini merupakan langen praja adi dan dipentaskan setahun sekali bertepatan dengan Wiyosandalem Ingkang Jumeneng Mangkunegara di Pendapa mangkunegaran.
Pada pemerintahan KGPAA Mangkunegara I yang didampingi oleh anak Tumenggung Mlayakusuma, yaitu Kyai Secakarmo dan Kyai Kidangwulung, pada saat itulah kedua pendamping KGPAA Mangkunegara I itu mampu menciptakanBedhaya Anglir Mendung. Karena jasanya itu oleh KGPAA Mangukenegara II, kyai Secakarmo dan adiknya Kyai Kidangwulung diangkat menjadi Demang didaerah Kabupaten Sukoharjo. Dan akhirnya keduanya meninggal dimakamkan diastana nguter dan astana Baron. Hingga sekarang makam Secakarma menjadi pepundhen para dalang dan seni karawitan, sedang makam kyai Kidangwulung menjadi pepundhen para penari dan seniwati. Pada pemerintahan KGPAA Mangkunegara III, gending Anglir Mendung gemanya berkurang, lalu Surakarta Hadiningrat muncul gending Srimpi Anglir Mendung, yang penarinya berjumlah 4 orang.
Pada saat Ingkang Sinuhun Paku Buwana V ( 1784 – 1823 ) yang memang berdarah Madura, karena baginda adalah putera Ingkang Sinuhun PB IV dengan permaisurinya Kanjeng Ratu Adipati Anom, puteri Raden Adipati Cakraningrat, bupati Pemekasan Madura dicipatkan tarian Srimpi India Madura. Bedhaya dan srimpi tersebut di atas hingga sekarang masih dilestarikan oleh Karaton Surakarta. Untuk pembinaan setiap hari minggu di bangsal Marakata dilaksanakan pelajaran menari untuk umum ( anak dana dewasa ) dengan bimbingan GRA Koesmurtiyah. Dan pada hari selasa kliwon menjelang Jumenengan Dalem dilaksankan latihan Beksan Bedhaya Ketawang di pendapa Sasanasewaka. Dengan dilestarikannya jenis tari yang bersifat sakral, religius dan magnis itu membawa daya tarik tertentu bagi para wisatawan untuk menikmati dan menghayati secara langsung maupun tidak langsung ( melalui rekaman vidio ) serta mewarnai jenis tari Srimpi yang berada diluar Karton, terutama dalam menyambut tamu di pertemuan-pertemuan resmi atau resepsi perkawinan.


Bedhaya Pangkur.
Sebelum tari ini diciptakan, iringan musiknya terlebih dulu. Komposisi musik ini disebut “ Gendhing Kemanak Raras Slendro Pathet Pangkur “ dengan lirik “ Sekar Macapat Pangkur “, yang diciptakan oleh Sri Sunan Paku Buwana I pada tahun 1705 – 1710. Kemudian tari Bedhaya diciptakan oleh Sunan Paku Buwana IV ( 1987 – 1820 ) selaras musik yang mengiringinya. Dengan berjalannya waktu, tari ini mengalami banyak penambahan dan selama pemerintahan Sunan Paku Buwana X ( 1893 – 1939 ), liriknya mengalami adaptasi bahasa. Dan tari yang akan diperagakan ini merupakan ciptakan terakhir dari masa Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana X di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Selain menunjukkan keindahan gerakan dan puisi tentang percintaan, Bedhaya Pangkur ini, seperti tari-tari Bedhaya lainnya juga mempunyai makna simbolis, misalnya bahwa manusia di dunia ini harus selalu mampu mengendalikan keinginannya sehingga dia dapat memperoleh kehidupan yang baik hingga akhir hayatnya. Keinginan manusia digambarkan 9 penari wanita sebagai perlambang dari 9 lubang dibagian dalam tubuh manusia yang mengendalikan keinginan manusia.
Bedhaya Duradasih.  
Description: http://karatonsurakarta.com/Tari_beksan2.jpg
Tari bedhaya duradasih ini diciptakan oleh Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IV, sebelum belio menjadi Raja di Karaton Surakarta. Pada waktu itu, belio masih bernama Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Amengkunagara. Nama “ Duradasih “ muncul pada waktu Paku Buwana IV menjadi putra Mahkota. Ayah andanya, Paku Buwana III memerintahkannya untuk mempersunting Raden Ajeng Handaya, seorang putri dari Madura, yang pada mulanya menolak, tetapi pada akhirnya sang putri jatuh hati padanya. Kisah ini digambarkan dalam tari Bedhaya Duradasih. Tari bedhaya duradasih mempunyai ciri yang istimewa karena tari ini di iringi instrumen yang disebut “ Kamanak “. Instrumen ini berbentuk pisang ( tong-tong ) dengan lubang panjang yang terbuat dari perunggu dan diciptakan pada tanggal, 30 bulan Dulkaidah 1707 tahun Jawa. 
Selain menunjukkan keindahan gerakan dan lirik, tari bedhaya duradasih ini mengandung pesan bahwa manusia harus mampu mengendalikan keinginannya agar dia dapat memperoleh kehidupan yang sempurna. 
Keinginan itu dilambangkan oleh 9 penari wanita yang melambangkan 9 lubang di dalam tubuh yang mengendalikan keinginan manusia
Beksan Bedhaya Sukaharja
Komposisi musik Beksan Sukaharja diciptakan Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX, tidak lama setelah belio dinobatkan menjadi putra mahkota, pada hari senin tanggal, 27 bulan Jumadilakir 1790 tahun Jawa. Tari ini diciptakan pada purna bangun pasanggrahan Langenharja, komposisi musik dan tari diselesaikan pada 1802 tahun Jawa yang ditandai dengan Candrasengkala ( simbol ) “ Kembar Kaluhuraning Sarira Nata “ atau pada tahun 1873. Dengan memberikan simbol dalam bentuk kalimat diatas, Raja bermaksud menandai purna bangun pesanggrahan dan pada waktu yang sama penciptaan komposisi musik dan beksan ( tari ). Kata Langenharja artinya bahwa belio membangun Pesanggrahan sebagai tempat hiburan. Jadi Pesanggrahan juga dapat menyediakan hiburan bagi masyarakat disekitarnya. Nama Sukaharja yang diberikan pada komposisi musik dan tari tersebut mengandung makna bahwa keberadaan Langenharja juga mengandung makna “ Hasesuka Karaharja “ yaitu untuk menciptakan kemakmuran dengan menciptakan komposisi musik dan tari.
Komposisi musik dan beksan bedhaya sukaharja ditampilkan pertama kali di Pasanggrahan Langenharja dan kemudian di Sasana Sewaka karaton Surakarta sebagai suatu bentuk resepsi bagi para tamu dari Nedherlands, karena pada upacara pembukaan pasanggrahan Langenharja, pemerintah Belanda tidak mempunyai kesempatan untuk mengirimkan delegasinya. Nama lengkap tari yang diciptakan oleh Paku Buwana XI adalah beksan bedhaya sukaharja, diiringi oleh komposisi musik gending Sukaharja Laras Pelog Pathet Nem. Pada tahun 1988, putri Dra. GRAJ. Koes Murtiyah, tanpa mengurangi gerakan dasar membuat sediki perubahan untuk menyesuaikan tari dengan kondisi dan situasi yang berubah, atas ijin ayah andanya, Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana XII.
Fragmen Kusumayuda
Kusumayuda merupaka tari drama yang didasarkan pada kisah Mahabarata. Tari ini diciptakan oleh Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana V (1820-1823) di Karaton Surakarta Hadiningrat. Tari ini menggambarkan dua serdadu dari keluarga Pandawa: Raden Gathutkaca dan adiknya Raden Abimanyu, yang dalam perjalanan mereka ke medan perang dihadang oleh sekelompok raksasa dari kerajaan Bantar Angin. Dalam tari, Raden Abimanyu yang sedang bermeditasi, diganggu oleh raksasa-raksasa itu dan akibatnya terjadilah pertempuran. Raksasa-raksasa itu dapat dihancurkan setelah kedatangan Raden Gathutkaca.
Tari itu menggambarkan bahwa dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita, manusia selalu menghadapi gangguan-gangguan. Oleh karena itu, manusia harus mampu mengatasi gangguan-gangguan itu untuk mencapai cita-cita yang mulia.
Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X (1893-1939), sang Raja menyisipkan dialog singkat untuk memperindah tarian ini.
Sendratari Arjuna
Adegan pertama menggambarkan situasi di negara Imaimantaka, dimana Prabu Niwatakawaca sedang mengadakan pertemuan dengan patih Mamangmurka dan para serdadu raksasanya. Dalam pertemuan itu, prabu Niwatakawaca mengungkapkan kebahagiaannya karena ia berhasil mempersunting seorang puteri dari surga, Dewi Prabasini. Akan tetapi, dibalik kebahagiaannya itu, Prabu Niwatakawaca merasa cemas karena Dewi Prabasini telah memintanya untuk membatalkan perkawinan itu meskipun sang prabu juga jatuh hati pada Dewi Supraba
Setelah melakukan pertimbangan yang dalam, prabu Niwatakawaca mencari alasan bahwa para dewa dari surga tidak akan pernah mengijunkan Dewi Supraba untuk menikah dengannya dan para dewa itu akan mencari “seorang pahlawan “ untuk menggantikannya. Pahlawan itu adalah Raden Arjuna yang sedang bermeditasi di puncak gunung Indrakila. Prabu Niwatakawaca pergi kesurga untuk menemui para dewa dan minta ijin untuk menikahi Dewi Supraba. Pada waktu yang sama, Patih Mamangmurka pergi ke gunung Indrakila untuk membunuh Arjuna yang sedang bemiditasi.
Adegan kedua menggambarkan Arjuna yang sedang bemeditasi di gunung Indrakila, dimana dia sedang digoda oleh jin dan hantu, tetapi mereka tidak berhasil. Kemudian para dewa, yang sedang mencari Arjuna untuk menaklukan Niwatakawaca, mengutus para Dewi dan malaikat untuk menggodanya untuk menguji ketulusan meditasinya. Namun mereka juga tidak berhasil.
Kemudian Patih Mamangmurka datang, kadang-kadang muncul sebagai celeng dan kadang-kadang sebagai dirinya. Patih Mamangmurka berhasil menbangun Arjuna dengan usaha dan ilmu sihirnya. Untuk mengalahkan Patih Mamangmurka, Arjuna memanahnya. Pada waktu yang bersamaan, sebuah anak panah yang mirip dengan anak panah Arjuna menancap ditubuh Patih Mamangmurka. Anak panah ini adalah milik ksatria tampan bernama Keratapura, yang juga seorang pemburu celeng. Akhirnya, mereka berdebat dan pertempuran antara keduanya pecah. Keretapura memenagkan pertempuran ini. Arjuna sangat terkejut ketika dia tahu bahwa Keratapura adlah Bathara Guru yang sedang menguji ketulusan dan minta maaf atas tindakannya, Bathara Guru memberinya sebuah anak panah bernama”Pasopati”. Bersama dengan Dewi Supraba, Arjuna kemudian berhasil menaklukan Niwatakawaca.
Dalam adegan terakhir, Prabu Niwatakawaca sedang besenang-senang dinegaranya, setelah dia kembali dari surga, karena para dewa berjanji untuk memberinya Dewi Supraba. Dia tidak mengetahui bahwa hal itu hanyalah tipuan belaka. Tiba-tiba, Dewi Supraba muncul dan mengatakan pada Prabu Niwatakawaca. Mendengarkan pernyataannya itu, Prabu Niwatakawaca sangat bahagia dan bangga, sehingga ketika Dewi Supraba menanyakan kelemahannya dengan setengah sadar Prabu Niwatakawaca berkata kbahwa kelemahannya terletak pada bagian atas mulutnya yang disebut “ Aji Ginengsokawedha”. Sehubungan dengan kegembiraannya, prabu Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Pada waktu itu Arjuna memanah Pasopatinya. Akhirnya Niwatakawaca tewas dan kejahatan lenyap dari dunia.
Fragmen Ramayana
Tari ini diciptakan oleh Dra. GRAj. Koes Moertijah, putri Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana XII. Tarian ini menceritakan kisah Rama Wijaya putra mahkota kerajaan Ayodya yang permaisurinya diculik oleh Raja Alengka, Prabu Rahwana.
Adegan pertama berlangsung dikerajaan Alengka; Rahwana memerintahkan Kala Marica untuk memperdayai Rama dan Lesmana, adik laki-laki Rama agar dia dapat menculuk Sinta. Rahwana ynag tergila-gila pada Sinta dan dia percaya bahwa Sinta adalah reinkarnasi dari Bathari Widawati.
Adegan kedua berlangsung di hutan Dhandaka. Kala Marica menyamar menjadi Rusa Emas. Dia dapat memisahkan Sinta dari Rama, akhirnya Rahwana berhasil melarikan Sinta. Seekor burung bernama Jatayu, melihat Rahwana sedang membawa Sinta. Dengan segera Jatayu menolong Sinta. Tetapi Jatayu kalah dalam pertempuran dan tewas didepan Rama dan Lesmana. Lalu rama memerintahkan Anoman, kera putih, yang diperintahkan Rama untuk menyampaikan sebuah cincin sebagai lambang  kesetiannya, datang dan mengatakan pada Sinta bahwa Rama dan serdadunya akan datang ke Alengka untuk menyelamatkannya.
Adegan berikutnya menggambarkan Sinta ditaman Soka di kerajaan Alengka. Dia ditemani oleh Trijatha dan dia dipeksa untuk melayani rahwana tetapi dia tidak pernah menurutinya. Setelah Rahwana pergi, Anoman datang untuk menyampaikan pesan Rama pada Sinta. Sinta mengirimkan “Kancing gelug” sebagai lambang kesetiannya pada Rama. Tetapi Anoman terlihat oleh serdadu Alengka. Kemudian pertempuran pecah. Akhirnya Rahwana bertempur dengan anoman. Anoman hampir kalah, tetapi pada akhirnya dia dapat meloloskan diri dari Alengka.
Beksan Wireng Bandayuda
Beksan atau tari ini diciptakan di bawah pemerintah Hingkang Sinuhunan Paku Buwana IV (1787-1820) di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Tari ini diilhami oleh Tari Wireng Lawung, yang diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram (1613-1645), yang menggambarkan empat serdadu yang berlatih perang dengan menggunakan tombak. Dalam Tari Wireng Bandayuda ini, tombak diganti dengan “Bhindi” atau tongkat pendek yang digunakan dengan “Tameng” atau perisai yang terbuat dari rotan.
Tari ini juga mengandung makna simbolik tentang empat nafsu manusia: amarah, aluamah, supiah, dan Mutmainah, yang secara bergantian mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia harus selalu waspada dan mengendalikan nafsunya untuk mencapai kehidupan yang sempurna.
Pada masanya (1861-1893), Hingkang Kangjeng Susuhunan Paku Buwana IX memperkaya tari ini dengan mengganti “Bhindi” dengan “Pedang” dan mengganti nama tarian itu menjadi “BANDABAYA”.
Klana Topeng
Tari ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, seorang pemimpin saleh yang mengajarkan Islam di Jawa
Tarian ini telah ada sejak periode Kerajaan Pajang, yang dilanjutkan hingga periode Mataram, kemudian periode Kartasura  hingga periode Surakarta. Pada periode pemerintahan Paku Buwana V di karaton Surakarta (1820-1823), tari-tarian yang berasal dari kisah Panji berkembang dengan pesat. Ada beberapa tari dan drama yang diciptakan berdasar kisah Panji, seperti Klana Gandrung, Klana Sembunglangu, Kilapawarna dan sebagainya. Tari Klana Topeng berkisah tentang seorang Raja yang jatuh cinta kepada seorang puteri bernama Dewi Sekartaji. Akan tetapi dalam tarian ini dewi Sekartaji tidak muncul.
Tari ini melambangkan bahwa manusia yang hidup didunia ini seharusnya jangan menginginkan sesuatu yang di luar kemampuannya. Tari ini mengingatkan kita untuk mengoreksi diri melalui kemampuan dan kelemahan kita untuk mencapai cita-cita. Dalam perkembangannya, tari Klana dapat ditarikan tanpa menggunakan topeng
Fragmen Panji Topeng Kilapawarna
Tarian ini diciptakan pada masa Hingkang Sinuhun Kangjeng Paku Buwana V (1820-1923).
Dewi Kumudaningrat, putri raja Ngurawan mengadakan lomba untuk menghindari pernikahaannya dengan Raja Bantarangin, Prabu Klana Sewadana. Sang putri dapat memenuhi keinginan Prabu Klana jika sang putri didampingi seorang ksatria tampan tanpa cacat pada pesta perkawinan itu. Pada waktu yang sama seorang putri Kediri Dewi Candrakirana, menghilang entah kemana karena dia sangat kehilangan kekasihnya, Raden Panji Hinukertapati, putra Raja Jenggala. Sebenarnya Sang Puteri menghilang atas kehendak Dewata .
Sang putri menjadi seorangh pria tampan bernama Kilaparwana, dengan pesan untuk membantu orang lain. Raden Panji Hinupakarti yang sedang berdukacita yang dalam sedang mencari Dewi Candrakirana. Atas keinginan Jawata, dia diperintahkan untuk mengabdi di Kerajaan Ngurawan, dengan menyamar sebagai Demang Turibang bersama dengan adik laki-lakinya, Panji Anom, yang menyamar sebagai Sinom Pradaoa. Ditaman Ngurawan Panji Anom bertemu Kumudaningrat, dan dia muncul sebagai dirinya sendiri ketika mereka saling jatuh cinta. Pada waktu yang sama Klana Sewadhana datang bersama Demnag Turibang, ksatria tampan tanpa cacat yang akan menemaninya dalam perkawinannya dengan Kumudaningrat. Prabu Klana sangat sedih ketika melihat Panji Anom intim dengan Kumudaningrat.
Dia menyerang Panji Anom. Demang Turibang terkejut dan dia mengubah dirinya kembali sebagai Panji Hinukaparti. Mereka berdua bertempur melawan Ngurawan. Hinupakarti bertemu dangan Candrakirana dan Panji Anom mendapatkan Kumudaingrat.
Beksan Wireng Gathutkaca Gandrung                                                                     Beksan Wireng Lawung  
Tari ini dicipkatan oleh Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana IV (1787-1820). Beksa Wireng seorang ksatria dari keluarga Pandawa : Raden Gathutkaca yang jatuh cinta pada Dewi  Pregiwa. Tari ini menunjukkan kekuatan seorang ksatria ketika dia jatuh cinta. Penari melantunkan puisi, yang melambangkan kerinduan kepada kekasihnya.Tari ini mengingatkan manusia agar waspada terhadap segala sesuatunya yang dapat memperlemah kekuatannya.  
Tari ini merupakan salah satu bentuk dari beberapa tari Wireng. Tari merupakan warisan dari tari-tari yang diciptakan oleh Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo di Karaton Mataram tahun 1613-1645. Tari ini menggambarkan latihan perang oleh empat orang serdadu dengan menggunakan tombak. Tari ini menunjukkan keindahan gerakan para serdadu yang menggunakan tombak. Tari ini dipengaruhi oleh kepahlawanan Sultan Agung, yang dengan gigih mempertahankan bangsa dan negaranya.Beksan 
Wireng Lawung juga mempunyai makna simbolik tentang keberadaan empat nafsu manusia yang secara bergantian mempengaruhi kehidupan manusia. Tari ini mengingatkan kita bahwa manusia harus mampu mengendalikan. Dalam masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X tarian ini diperpendek sehingga tidak membosankan.
Beksan Pethilan Srikandi Mustakaweni
Tari ini dibawakan oleh para wanita yang menari berpasangan. Tari ini berkisah tentang dua putri raja dari kisah Mahabarata: Srikandi (istri Arjuna) yang diperintahkan oleh Kresna untuk mencari pencuri “Jimat Kalimasada” yang bernama Mustakaweni. Sewaktu keduanya saling bertatap muka, mereka adu kekuatan gaib. Tetapi tidak satupun yang menang.
Tari ini juga menggambarkan dua kekuatan dari putri raja yang berasal dari satu keluarga. Tari ini diciptakan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana XII.
Beksan Wireng Garudha Yakso
Tari ini menggambarkan seorang raja dari Alengka: Rahwana yang jatuh cinta pada Sinta, tetapi cintanya tidak pernah disambut. Tari ini menggambarkan keberanian dan kekuatan seorang raja ketika dia jatuh cinta dengan seorang wanita. Tarian ini diciptakan oleh R.T. Tondo Kusumo atau S. Maridi. Pada waktu Kangjeng Susuhunan Paku Buwana XII.

Kamis, 13 November 2014

Tari Klasik Gaya Surakarta

Tari Bedhoyo Ketawang
(Tarian yang percintaan antara raja Mataram dengan  Ratu Kencanasari)
bedoyo5.jpg (14952 bytes)
Menurut kitab Wedbapradangga yang dianggap pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja ke-1 dan terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem Jumenengan".
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke-XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami tranformasi pada berbagai aspek, baik aspek mistik maupun aspek politiknya. Bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang dianggap patut untuk dilestarikan. Busana Tari Bedhoyo Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan "Kyai Kaduk Manis" dan "Kyai Manis Renggo". Instrumen gamelan yang dimainkan hanya beberapa yakni Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua buah Kendang Ageng bemama Kanjeng kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab bemama Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta sehuah Gong ageng bernama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya'ban dalam Kalender Jawa.

BEDHOYO KETAWANG
Yang membuat Bedhoyo Ketawang menarik ialah terkandungnya hal-hal yang memiliki daya khas, misalnya saja :Pengalaman saya sendiri, pada waktu ikut menghadapdi kraton, setiap kali ada upacara peringatan ulang tahun kenaikan tahta, yang senantiasa diisi dengan pegelaran Bedhaya ketawang. Pada saat-saat itulah terasa sekali suasana yang lain daripada biasanya. Lebih-lebih bila tiba-tiba terdengar suara rebab yang digesek, mengiringi keluarnya para penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa, menuju ke Pendapa Agung Sasanasewaka. Tenang, sunyi dan hening ! Semuanya yang hadir diam. Kesembilan penari dengan khidmat berjalan dengan pandangan mata yang penuh kesungguhan dan sikap yang agung.   Setibanya di hadapan Sinuhunan yang duduk di singgasana, mereka duduk bersila. Tidak lama kemudian terdengar suara suarawati yang mengalunkan lagu, dengan kata-kata yang jelas terdengar, “Raka pakenira sampun …” (“Kanda perintahmu sudah …”)    Suaranya yang jernih, merdu merayu itu seolah-olah menembus serta menyusupi kelunan asap dupa yang membawa serta bau harum semerbak mewangi. Sementara itu asap dupa tak henti-hentinya mengukus, berarak menyelimuti seluruh ruangan pendapa agung. Dan suasana di sekitarnya makin hening, khidmat, terpengaruh oleh daya perbawa mistis, yang sukar untuk dilukiskan dan dijelaskan.    Suara gamelan dan suarawati yang mengiringi tarian Bedhaya Ketawang itu mengingatkan kita pada bait dalam Bhatarayuddha, yang melukiskan betapa meriahnya alam ini karena bunyi-bunyian alam, yang kira-kira demikian isinya :
“Di sungai-sungai suara katak yang bersautan terdengar seperti gema saron dalam pergelaran wayang. Desir angin disela-selarumpun bambu bagaikan bunyi seruling, yang menambah merdu dan serasinya nada yang dibawakan oleh suara bangkok darijurang yang ceram, dibarengi lengking suara cenggeret dan belalang yang berimbalan, bak bunyi kemanak yang bertalu-talu”.   Tak jauh bedanya dengan maknayang saya tangkap setelah saya melihat gurdwara – candi/kuil bangsa Tamil
Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan : (1) Adat Upacara(seremoni); (2) Sakral; (3) Religius; (4) tarian Percintaan atau tari Perkawinan.  
 Adat Upacara
Bedhaya Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan semata-mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khudus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidakdibenarkan orang merokok. Makanan, minuman atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalannya upacara adat yang suci ini.  
Sakral
Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratu diantara seluruh mahluk halus. Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang pencipta selalu hadir selalu hadir juga serta ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya pada mereka yang peka saja sang pencipta menampakkan diri.Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya.Dalam hal ini ada dugaan, bahwa semula Bedhaya ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.
 
2.                  Religius Segi religius jelas dapat diketahui dari kata-kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya. Antara lain ada yang berbunyi : …tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar kyai, …yen mati ngendi surupe, kyai?” (……kalau mati kemana tujuannya, kyai?).
3.                  Tari Percintaan atau Tarian Perkawinan
Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah dibuat demikian halusnya, hingga mata awam kadang-kadang sukar akan dapat memahaminya. Satu-satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan suatu perkawinan ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai lazimnya mempelai akan dipertemukan. Tentang hal kata-kata yang tercantum dalam hafalan nyanyian yang mengiringi tarian, jelas sekali menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng ratu, yang merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta dirasakan, maka menurut penilaian atau pandangan pada masa kini, kata-katanya mungkin sekali dianggap kurang senonoh, sebab sangat mudah membangkitkan rasa birahi. Perihal kapan dimulainya pergelaran Bedhaya ketawang ini diadakan untukperesmian peringatan ulang tahun kenaikan tahta Sri Susuhunan, belum ada yang dapat dipakai sebagai pedoman.Aslinya pergelaran ini berlangsung selama 2 1/2 jam. Tetapi sejak jaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan pengurangan, hingga akhirnya menjadi hanya 1 1/2 jam saja.Bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khudus ini berlaku suatu kewajiban khusus. Sehari sebelumnya para anggota kerabat Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa-masa dahulu ditaati benar. Walaupun dirasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhaya Ketawang yang khudus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan penuh rasa tulus dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhaya Ketawang merupakan suatu pusaka yang suci. Untuk inilah mereka semua mematuhi setiap peraturan tatacara yang berlaku.
Bagi para penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat kepercayaan, mereka ini akan langsung berhubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalam keadaan suci, baik pada masa-masa latihan maupun pada waktu pergelarannya.Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng ratu Kidul hanya dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila cara menarinya masih kurang betul. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang diadakan pada hari-hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), setiap penari dan semua pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci.Persiapan-persiapan untuk suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan sangat teliti. Bila ada yang merasa menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping sejumlah penari yang diperlukan selalu diadakan juga penari-penari cadangan. Bila para penari ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari-penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunan menarinya akan lebih dapat terjamin. Keseluruhannya ini akan menambah keagungan suasananya.
Siapakah Pencipta Bedhoyo Ketawang ?
Pertanyaan ini timbul, karena orang mulai berpikir, mengapa Bedhaya Ketawang itu dipandang demikian sucinya. Bersenandung lagunya pun dipantangkan. Menurut tradisi, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai karya Kangjeng ratu Kidul Kencanasari, ialah ratu mahluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar Samudera Indonesia. Pusat daerahnya adalah Mancingan, Parangtritis, di wilayah Yogyakarta. Setiap orang yang percaya takut dan segan terhadapnya. Segala peraturannya pantang dilanggar.
Tetapi menurut R.T. Warsadiningrat (abdidalem niyaga), sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul hanya menambahkan dua orang penari lagi, sehingga sembilan orang, kemudian dipersembahkan kepada Mataram.Menurut beliau penciptanya adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah satu rombongan, terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut “Lenggotbawa”. Iringan gamelannya hanya lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas:
1. gending  - kemanak 2, laras jangga kecil /manis penunggul;  
2. kala       - kendhang
3. sangka   - gong  
 
4. pamucuk - kethuk
5. sauran    - kenong.  
 
Jika demikian, maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umur Bedhaya Ketawang sudah tua sekali, lebih tua daripada Kangjeng Ratu Kidul.Menurut G.P.H. Kusumadiningrat, pencipta “lenggotbawa” adalah Bathara Wisnu, tatkala duduk di Balekambang. Tujuh buah permata yang indah-indah diciptanya dan diubah wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita, dan kemudian menari-nari, mengitari Bathara Wisnu dengan arah ke kanan . Melihat hal ini sang Bathara sangat senang hatinya. Karena tidak pantas dewa menoleh ke kanan dan ke kiri, maka diciptanyalah mata banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di seluruh tubuhnya. Menurut Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta birahi Kangjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi, tetapi selalu dapat dielakkan oleh Sunuhun. Maka Kangjeng Ratu Kidul lalu memohon, agar Sinuhun tidak pulang, melainkan menetap saja di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana, ialah singgasana yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya di dasar lautan.
Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai “sangkan paran”. Namun begitu beliau masih mau memperistri Kangjeng Ratu Kidul, turun temurun. Siapa saja keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan mengikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada saat peresmian kenaikan tahtanya.
Sebaliknya bahkan Kangjeng Ratu Kidul yang diminta datang di daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun. Dan ini kemudian memang terlaksana. Pelajaran tarian ini diberikan setiap hari Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kangjeng Ratu Kidul akan hadir.
Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Beghaya Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang gerong Gamelan iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dari lima macam jenis: kethuk, kenong, kendhang, gong dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar ialah suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak). Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga akhirnya. Pada bagian (babak) pertama diiringi sindhen Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat gamelannya ditambah dengan rebab, gender gambang dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng     Sasanasewaka, dengan berjalan berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana (dhampar).Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya, para penari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka (meng-“kanan”kan). Pada tarian bedhaya atau serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah kanan Sinuhun, dan kembali melalui jalan yang sama.  
Srimpi Anglirmendhung
Ada lagi satu tarian yang juga termasuk keramat, ialah Srimpi Anglirmendhung. Tarian Srimpi ini diduga lebih muda daripada Bedhaya Ketawang. Kedua tarian ini ada kemiripannya, bila ditilik dari:
a.       MENDHUNG = awan; Tempatnya di langit (=TAWANG)
b.      Dipakainya kemanak sebagai alat pengiring utama
c.       Pelaksanaan tariannya juga dibagi menjadi 3 babak
Menurut R.T. Warsadiningrat, Anglirmedhung ini digubah oleh
K.G.P.A.A.Mangkunagara I. Semula terdiri atas tujuh penari, yang kemudian dipersembahkan kepada Sinuhun Paku Buwana. Tetapi atas kehendak Sinuhun Paku Buwana IV tarian inidirubah sedikit, menjadi Srimpi yang hanya terdiri atas empat penari saja
 
 Namun begitu mengenai kekhudusan dan kekhidmatannya tiada bedanya dengan Bedhaya Ketawang, meskipun dalam pergelarannya Srimpi Anglirmendhung boleh dilakukan kapan saja dan di mana saja. Bedhaya Ketawang hanya stu kali setahun dan hanya di dalam keraton, di tempat tertentu saja.
Bila akan ditinjau keistimewaan Bedhaya Ketawang, letaknya terdapat dalam hal:
1.   Pilihan hari untuk pelaksanaannya, yaitu hanya pada haru Anggarakasih. Bukan pada pergelaran resminya saja, melainkan juga pada latihan-latihannya.
2.    Jalannya penari di waktu keluar dan masuk ke Dalem Ageng. Mereka selalu mengitari Sinuhun dengan arah menganan.
3.      Pakaian penari dan kata-kata dalam hafalan sindhenannya.
Pakaian: Mereka memakai dodot banguntulak). Sebagai lapisan bawahnya dipakai cindhe kembang, berwarna ungu, lengkap dengan pending bermata dan bunta. Riasan mukanya seperti riasan temanten putri. Sanggulnya bokor mengkureb lengkap dengan perhiasan-perhiasannya, yang terdiri atas: centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul dan memakai tiba dhadha (untaian rangkaian bunga yang digantungkan di dada bagian kanan).
4.                  Kata-kata yang mengalun dinyanyikan oleh suarawati jelas melukiskan rayuan yang dapat merangsang rasa birahi. Dari situ dapat diperkirakan bahwa Bedhaya Ketawang dapat juga digolongkan dalam “Tarian Kesuburan” di candi, yang inti sarinya menggambarkan harapan untuk mempunyai keturunan yang banyak.
5.                  Gamelannya berlaras pelog, tanpa keprak. Ini suatu pertanda bahwa Bedhaya Ketawang ini termasuk klasik.
6.                  Rakitan taridan nama peranannya berbeda-beda. Dalam lajur permulaan sekali, kita lihat para penari duduk dan menari dalam urutan tergambar dibawah in
Dalam melakukan peranan ini para penari disebut:  
1. Batak  
2. Endhel ajeg 
3. Endhel weton
4. Apit ngarep 
 5. Apit mburi
 6. Apit meneg
 7. Gulu
 8. Dhada  
 9. Boncit
Selama menari tentu saja susunannya tidak tetap, melainkan berubah-rubah, sesuai dengan adegan yang dilambangkan. Hanya pada penutup tarian mereka duduk berjajar tiga-tiga.
Dalam susunan semacam inilah pergelaran Bedhaya Ketawang diakhiri, disusul dengan iringan untuk kembali masuk ke Dalem Ageng, juga dengan cara mengitari dan menempatkan Sinuhun di sebelah kanan mereka semua.
7.           Bedhaya Ketawang juga dapat dihubungkan dengan perbintangan. Kita perhatikan kata-kata yang dicantumkan dalam hafalan nyanyian pesindennya. Di antaranya yang berbunyi:
Anglawat akeh rabine Susuhunan, nde,
Anglawat kathah garwane Susuhunan, nde,
  SOSOTYA gelaring mega, Susuhunan kadi Lintang kusasane.
  (Dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:
  Dalam perlawatan Susuhunan banyak menikah,
  Dalam perlawatan Susuhunan banyak permaisurinya,
  Permata yang bertebaran di langit yang membentang,
    Susuhunan berkuasa, bak bintang.)
 
  Dalam hal ini kekuasaan Sinuhun diumpamakan bintang.Sedikit catatan bolehlah ditambahlan, bahwa Jawa juga mengenal perbintangan, dengan nama-namanya sendiri seperti: Lintang Luku, Lintang Kukusan, Gemak Tarung, Panjer Rina, Panjer Sore (di antara anak-anak dahulu bintang ini juga sering dinamakan “ting negara Landa”).
Di dalam lagu Jawa dikenal juga hafalan yang bunyinya:Irim-irim Lanhjar Ngirim, Gubug Penceng anjog, wus manengah Prauke sang raden, Jaka Belek Maluku ing Kali, lintang Bima Sekti, nitih Kuda Dhawuk. (Mijil)
sejarah7.jpg (31479 bytes)   Sakral
Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratu diantara seluruh mahluk halus. Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang pencipta selalu hadir selalu hadir juga serta ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya pada mereka yang peka saja sang pencipta menampakkan diri.Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya.Dalam hal ini ada dugaan, bahwa semula Bedhaya ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.
  KANGJENG RATU KIDUL
           Siapakah sesungguhnya Kangjeng Ratu Kidul itu ? Benarkah ada dalam kesungguhannya, ataukah hanyadalam dongeng saja dikenalnya? Pertanyaan ini pantas timbul, karena Kangjeng Ratu Kidul termasuk mahluk halus. Hidupnya di alam limunan, dan sukar untuk dibuktikan dengan nyata. Pada umumnya orang mengenalnya hanya dari tutur kata dan dari semua cerita atau kata orang ini, bila dikumpulkan akan menjadi seperti berikut:
1.                  Menurut cerita umum, Kangjeng Ratu Kidul pada masa mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari Pajajaran, anak Prabu Mundhingsari, dari istri yang bernama Dewi Sarwedi, cucu Sang Hyang Suranadi, cicit Raja Siluman di Sigaluh. Layaklah bila sang putri ini kemudian melarikan diri dari kraton dan bertapa di gunung Kombang. Selama bertapa ini sering nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau sebaliknya. Sang putri tidak bersuami (wadat) dan menjadi ratu di antara mahluk seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar samudera Indonesia. Masalah ini tidak mengherankan, karena sang putri memang mempunyai darah keturunan dari mahluk halus.
2.                  Diceritakan selanjutnya, bahwa setelah menjadi ratu sang putri lalu mendapat julukan Kangjeng Ratu Kidul malahan ada juga yang menyebutnya Nyira Kidul. Dan yang menyimpang lagi adalah: Bok Lara Mas Ratu Kidul. Kata lara berasal dari rara, yang berarti perawan (tidak kawin).
Dikisahkan, bahwa Dewi Retna Suwida yang cantik tanpa tanding itu menderita sakit budhug (lepra). Untuk mengobatinya harus mandi dan merendam diri di dalam suatu telaga, di pinggir samudera.
Konon pada suatu hari, tatkala akan membersihkan muka sang putri melihat bayangan mukanya di permukaan air. Terkejut karena melihat mukanya yang rusak, sang putri lalu terjun ke laut dan tidak kembali lagi ke daratan, dan hilanglah sifat kemanusiaannya serta menjadi mahluk halus. Cerita lain lagi menyebutkan bahwa sementara orang ada yang menamakannya Kangjeng Ratu Angin-angin.Sepanjang penelitian yang pernah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kangjeng Ratu Kidul tidaklah hanya menjad ratu mahluk halus saja melainkan juga menjadi pujaan penduduk daerah pesisir pantai selatan, mulai dari daerah Yogyakarta sampai dengan Banyuwangi, hanya terpisah oleh desa Danamulya yang merupakan daerah penduduk Kristen.Camat desa Paga menerangkan bahwa daerah pesisirnya mempunyai adat bersesaji ke samudera selatan untuk Nyi Rara Kidul. Sesajinya diatur di dalam rumah kecil yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut (sanggar). Juga pesisir selatan Lumajang setiap tahun mengadakan korban kambing untuknya dan orang pun banyak sekali yang datang,Tuan Welter, seorang warga Belanda yang dahulu menjadi Wakil Ketua Raad Van Indie, menerangkan bahwa tatkala ia masih menjadi kontrolor di Kepajen, pernah melihat upacara sesaji tahunan di Ngliyep, yang khusus diadakan untuk Nyai Lara Kidul. Ditunjukkannya gambar (potret) sebuah rumah kecil dengan bilik di dalamnya berisi tempat peraduan dengan sesaji punjungan untuk Nyai Lara Kidul. Seorang perwira ALRI yang sering mengadakan latihan di daerah Ngliyep menerangkan bahwa di pulau kecil sebelah timur Ngliyep memang masih terdapat sebuah rumah kecil, tetapi kosong saja sampai sekarang. Apakah rumah ini yang terlukis dalam gambar Tuan Welter, belumlah dapat dipastikan.
              seorang kenalan dari Malang menyebutkan bahwa pada tahun 1955 pernah ada serombongan orang-orang yang nenepi (pergi ke tempat-tempat sepi dan kramat) di pulau karang kecil, sebelah timur Ngliyep. Seorang di antara mereka adalah gurunya. Dengan cara tanpa busana mereka bersemadi di situ. Apa yang kemudian terjadi ialah, bahwa sang guru mendapat kemben, tanpa diketahui dari siapa asalnya. Yang dapat diceritakan ialah bahwa merasa melihat sebuah rumah emas yang lampunya bersinar-sinar terang sekali.
7.                  Di Pacitan ada keparcayaan larangan untuk memakai pakaian berwarna hijau gadung (hijau lembayung), yang erat hubungannya dengan Nyai Lara Kidul. Bila ini dilanggar orang akan orang akan mendapat bencana. Ini dibuktikan dengan terjadinya suatu malapetaka yang menimpa suami-istri bangsa Belanda beserta 2 orang anaknya. Mereka bukan saja tidak percaya pada larangan tersebut, bahkan mengejek dan mencemoohkan. Pergilah mereka ke pantai dengan berpakaian serba hijau. Terjadilah sesuatu yang mengejutkan, karena tiba-tiba ombak besar datang dan kembalinya ke laut sambil menyambar tiba-tiba menyambar keempat orang Belanda tersebut di atas.
8.                  Seorang dhalang di Blitar menceritakan bahwa di daerahnya sampai ke gunung Kelud masih ditaati pantangan Kangjeng Ratu Kidul, ialah memakai baju hijau. Tak ada seorang pun yang berani melanggarnya.
9.                  Sampai pada waktu akhir-akhir ini orang masih mengenal apa yang disebit “lampor”, yaitu suatu hal yang yang dipandang sebagaiperjalanan Kangjeng Ratu Kidul, yang naik kereta berkuda. Suaranya riuh sekali, gemerincing bunyi genta-genta kecil dan suara angin meniup pun membuat suasana menjadi seram. Orang lalu berteriak “Lampor! Lampor! Lampor!”, sambil memukul-mukul apa saja yang dapat dipukul, dengan maksud agar tidak ada pengiringnya yang ketinggalan singgah di rumahnya, untuk mengganggu atau merasuki.
10.              Menurut “penglihatan” seorang pemimoin Teosofi, bangsa Amerika, Kangjeng Ratu Kidul bukan pria, bukan pula wanita. Dan dikatakannya, bahwa Kangjeng Ratu Kidul dapat digolongkan sebagai Dewi Alam, dalam hal ini Dewi Laut.
Di Jawa masih dikenal tiga jenis lainnya, ialah:
a.                  Disebelah timur adalah Kangjeng Sunan Lawu, Dewa Gunung. Menurut ceritanya semula adalah Raden Guntur, seorang putra keturunan Majapait yang meloloskan diri pada masa jatuhnya Majapait, lari sampai ke puncak Lawu;
b.                  Disebelah barat di gunung Merapi ialah Kangjeng Ratu Sekar Kedhaton. Tidak begitu dikenal ceritanya.
c.                  Disebelah utara adalah hutan Krendhawahana, dikuasai oleh Bathari Durga atau Sang Hyang Pramoni, Dewi Hutan. Menurut mereka yang pernah melihatnya, wujudnya seperti reksesi. Untuknya kraton selalu membuat sesji yang paling luar biasa, ialah Maesalawung, karena Dewi ini yang dianggap sebagai penjaga negeri seisinya.
Maesalawung atau Rajaweda diberikan setiap bulan Rabingul-akhir, padahari Senin atau Kamis yang terakhir. Sesaji diberiakan di Sitinggil. Do’a yang dibaca adalah do’a Buda, sedang rapal yang diucapkan merupakan campuran Jawa dan Arab  Sesaji Maesalawung ini adalah Bekakak, dibuat dari tepung, berbentuk manusia lelaki dan perempuan, tidak berbusana;Badheg, arak yang dibuat dari siwalan atau aren, semangkuk;
Hajad ini dibawa ke hutan Krendhawahana, diletakkan di pinggir sumur Gumuling.Yang diperintah membawanya adalah abdi dalem Suranata, ialah abdi dalem yang tergolong para mutihan (ulama) yang berdiri sendiri dengan kewajiban:
a.                  -mamberi sesaji sebelum suatu upacara diadakan demi keselamatan negeri seisinya.
b.                 - Mancari dan memperhitungkan hari atau waktu yang baik untuk suatu kepeluan, langsung disampaikan kepada Sinuhun, tanpa melalui penghulu. Ini suatu sisa adat kerajaan bagian keagamaan.
            Kesimpulan mengenai Kangjeng Ratu Kidul ialah, bahwa adanya bukanlah hanya dalam dongeng atau tahayul saja. Ini adalah hal yang nyata ada, tetapi yang tidak termasukdalam alam manusiawi, melainkan dalam alam limunan (alam Mahluk halus). Ia bukan di dalam alam kita, manusia biasa. Yang dapat menerobos alamnya hanya manusiatama seperti Wong Agung Ngeksi Ganda saja, ialah yang dapat menguasai kedua alam, baik alam manusia maupun alam mahluk halus. Dua alam yang melambangkan suatu dwitunggal yang suci.
-Dodot banguntulak adalah kain panjang berwarna dasar biru tua, dengan warna putih di bagian tengah.
-Buntal adalah untaian daun pandan, puring dan beberapa macam lainnya diselingi bunga-bungaan.
Dalam melaksanakan tugasnya para penari Bedhoyo Ketawang yang berjumlah sembilan orang penari putri ini harus dalam keadaan bersih secara spritual (tidak dalam keadaan haid). Selain itu beberapa hari sbelumnya para penari diwajibkan untk berpuasa. Komposisi penari Bedboyo Ketawang terdiri dari, Endhel, Pembatak, Apit Najeng, Apit Wingking, Gulu, Enhel Weton, Apit Meneng, Dadha dan Buncit. Dari ke sembilan penari tersebut, Pembatak dan Endhel sangat memegang peranan panting Pada salah satu adegan, kedua penari ini melakukan adegan percintaan. Ditelaah dari syair yang dilantunkan oleh Sindhen dan Waranggana, tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan percintaan antara raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kencanasari/Kidul. Hanya saja semuanya diwujudkan secara abstrak dan sangat simbolis. Karena pertunjukan tari Bedhoyo Ketawang bertujuan mereaktualisasikan hubungan cinta secara spiritual antara Raja Mataram dengan Ratu Kencanasari maka kebanyakan sesaji yang ditempatkan di atas beberapa nampan berupa busana serta alat-alat kecantikan.
Selain tarian yang sakral diatas Kraton Kasunanan/Pakubuwono juga menciptakan tarian lain misalnya: Tari Srimpi, yaitu tarian yang menggambarkan perang tanding dua kesatria.
Macam-macam srimpi : Srimpi padelori, Andong-andong, Arjuno Mangsah, Dhempel Sangopati, Elo-elo, Dempel, Gambir sawit, Muncar, Gandokusumo, Srimpi lobong (Jaman PB IX, 1774) dll.