Seni Tari(beksan)
Karaton Kasunanan
Seni tari
di Karaton Kasunanan Surakarta bukan semata olah gerak yang estitis saja,
tetapi juga merupakan olah gerak batin, para penari juga dibekali dengan olah
gerak maupun irama batin yang seimbang apalagi kalau sudah menarikan tarian
klasik ( Bedhaya yang dianggap sakral itu ) seni tari dalam bahasa disebut “
Kagunan Beksa “ menurut etimologi Jawa berarti “ Hambeging Roso “ yaitu nuasa
rasa sebagai jiwa didalam rasa yang diekpresikan dalam suatu gerak.
Adapun
jenis-jenis tari yang dipandang sebagai hasil budaya karaton yaitu :
|
![]() |
Bedhaya
Anglirmendhung
Selain
bedhaya ketawang di Karaton Surakarta dikenal pula Bedhaya Anglirmendung. Tari
ini menurut RT. Warsodiningrat juga memiliki kemanak, katanya asal Mangkunegara
sisa dari Anglirmendung. KGPH Hadiwijaya berpendapat kalau tidak salah
Anglirmendung itu adiknya “ Bedhya Ketawang “ ditilik dengan adanya persamaan
yang seprinsip :
a. Nama ( anglir ) mendhung = awan,
terdapat dari mendhung = awan adalah langit (ke) tawang = langit, kurungnya
mendung = awan.
b. Kemanak sama-sama ngangkang,
bersuara menggema nyaring.
c. Joged = tariannya sama-sama 3 babak.
Anglirmendung adegan pertama = babak pertama juga kendang besar, lungit,
tenteram, regu, wingit, eznsting.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa Anglirmendhung itu “ adik “ disebabkan Katwang itu suatu
Bedhaya yang penarinya 9 sudah dewasa, keluarnya setahun hanya sekali di
Pendapa Agung Sasanasewaka ( trohwhaal ) yang menghadap nagkil dalam keadaan
berpakaian kebesaran. Anglirmendung, srimpi seniwatinya hanya 4 masih perawan
jumagar ( remaja putri ), gebyagannya sewaktu-waktu dan tempatnya sekehendak
saja. Yang terpenting sekali bahwa kedua-duanya sama-sama melati berkekuatan
gaib serta bertuah. Menurut keterangan RT. Warsodiningrat Anglirmendung itu
hanya pada jaman Surakarta saja, gubahan KGPAA Mangkunegara I dinamakan
Bedhaya, penariwati 7. Kemudian dipersembahkan ke Karaton Surakarta, kemudian
oleh Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV dijadikan srimpi.
GPH Puger
menjelaskan bahwa Anglirmendung itu harusnya banyak. Bedhaya kalau dilihat dari
perkataannya sendiri seperti itu Anglir seperti Mendhung. Mendhung sendiri
sudah jelas “ wis ngarani “ kalau cara Jawa seperti “ dung “ sendiri kita bisa
menginterprestasikan seperti mendung. Daya tariannya justru remang, mendung
sendiri bersifat remang-remang. Atau diluar gerak lalu ke konteks, mungkin
didalam simbolnya menceritakan kesedihan. Menurut catatan yang tersimpan di
peroustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, sejak jaman RM. Garendi di Kartasura,
setiap memperingati Wiyosandalem, gending Ketawang Alit Anglir Mendung menjadi
iringan baku dalam upacara Wilujengan Wiyosandalem.
Catatan
sejarah menjelaskan bahwa gending Ketawang Ali Anglir Mendung itu dimulai sejak
jaman Pangeran Sambernyawa menjadi KGPAA Mangkunegara I, dan seterusnya diikuti
oleh Mangkunegara II dan III, gending ketawang alit anglir mendung dan
sekaligus penarinya menjadi Pusaka Pura Mangkunegaran. Bedhaya ini merupakan
langen praja adi dan dipentaskan setahun sekali bertepatan dengan Wiyosandalem
Ingkang Jumeneng Mangkunegara di Pendapa mangkunegaran.
Pada
pemerintahan KGPAA Mangkunegara I yang didampingi oleh anak Tumenggung
Mlayakusuma, yaitu Kyai Secakarmo dan Kyai Kidangwulung, pada saat itulah kedua
pendamping KGPAA Mangkunegara I itu mampu menciptakanBedhaya Anglir Mendung.
Karena jasanya itu oleh KGPAA Mangukenegara II, kyai Secakarmo dan adiknya Kyai
Kidangwulung diangkat menjadi Demang didaerah Kabupaten Sukoharjo. Dan akhirnya
keduanya meninggal dimakamkan diastana nguter dan astana Baron. Hingga sekarang
makam Secakarma menjadi pepundhen para dalang dan seni karawitan, sedang makam
kyai Kidangwulung menjadi pepundhen para penari dan seniwati. Pada pemerintahan
KGPAA Mangkunegara III, gending Anglir Mendung gemanya berkurang, lalu
Surakarta Hadiningrat muncul gending Srimpi Anglir Mendung, yang penarinya
berjumlah 4 orang.
Pada saat
Ingkang Sinuhun Paku Buwana V ( 1784 – 1823 ) yang memang berdarah Madura,
karena baginda adalah putera Ingkang Sinuhun PB IV dengan permaisurinya Kanjeng
Ratu Adipati Anom, puteri Raden Adipati Cakraningrat, bupati Pemekasan Madura
dicipatkan tarian Srimpi India Madura. Bedhaya dan srimpi tersebut di atas
hingga sekarang masih dilestarikan oleh Karaton Surakarta. Untuk pembinaan
setiap hari minggu di bangsal Marakata dilaksanakan pelajaran menari untuk umum
( anak dana dewasa ) dengan bimbingan GRA Koesmurtiyah. Dan pada hari selasa
kliwon menjelang Jumenengan Dalem dilaksankan latihan Beksan Bedhaya Ketawang
di pendapa Sasanasewaka. Dengan dilestarikannya jenis tari yang bersifat
sakral, religius dan magnis itu membawa daya tarik tertentu bagi para wisatawan
untuk menikmati dan menghayati secara langsung maupun tidak langsung ( melalui
rekaman vidio ) serta mewarnai jenis tari Srimpi yang berada diluar Karton,
terutama dalam menyambut tamu di pertemuan-pertemuan resmi atau resepsi
perkawinan.
Bedhaya
Pangkur.
Sebelum tari
ini diciptakan, iringan musiknya terlebih dulu. Komposisi musik ini disebut “
Gendhing Kemanak Raras Slendro Pathet Pangkur “ dengan lirik “ Sekar Macapat
Pangkur “, yang diciptakan oleh Sri Sunan Paku Buwana I pada tahun 1705 – 1710.
Kemudian tari Bedhaya diciptakan oleh Sunan Paku Buwana IV ( 1987 – 1820 )
selaras musik yang mengiringinya. Dengan berjalannya waktu, tari ini mengalami
banyak penambahan dan selama pemerintahan Sunan Paku Buwana X ( 1893 – 1939 ),
liriknya mengalami adaptasi bahasa. Dan tari yang akan diperagakan ini
merupakan ciptakan terakhir dari masa Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku
Buwana X di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Selain
menunjukkan keindahan gerakan dan puisi tentang percintaan, Bedhaya Pangkur
ini, seperti tari-tari Bedhaya lainnya juga mempunyai makna simbolis, misalnya
bahwa manusia di dunia ini harus selalu mampu mengendalikan keinginannya
sehingga dia dapat memperoleh kehidupan yang baik hingga akhir hayatnya.
Keinginan manusia digambarkan 9 penari wanita sebagai perlambang dari 9 lubang
dibagian dalam tubuh manusia yang mengendalikan keinginan manusia.
Bedhaya
Duradasih.
![]() |
Tari bedhaya duradasih ini diciptakan oleh Hingkang
Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IV, sebelum belio menjadi Raja di
Karaton Surakarta. Pada waktu itu, belio masih bernama Kanjeng Gusti Pangeran
Arya Adipati Amengkunagara. Nama “ Duradasih “ muncul pada waktu Paku Buwana
IV menjadi putra Mahkota. Ayah andanya, Paku Buwana III memerintahkannya
untuk mempersunting Raden Ajeng Handaya, seorang putri dari Madura, yang pada
mulanya menolak, tetapi pada akhirnya sang putri jatuh hati padanya. Kisah
ini digambarkan dalam tari Bedhaya Duradasih. Tari bedhaya duradasih
mempunyai ciri yang istimewa karena tari ini di iringi instrumen yang disebut
“ Kamanak “. Instrumen ini berbentuk pisang ( tong-tong ) dengan lubang
panjang yang terbuat dari perunggu dan diciptakan pada tanggal, 30 bulan
Dulkaidah 1707 tahun Jawa.
|
Selain
menunjukkan keindahan gerakan dan lirik, tari bedhaya duradasih ini mengandung
pesan bahwa manusia harus mampu mengendalikan keinginannya agar dia dapat
memperoleh kehidupan yang sempurna.
Keinginan
itu dilambangkan oleh 9 penari wanita yang melambangkan 9 lubang di dalam tubuh
yang mengendalikan keinginan manusia
Beksan
Bedhaya Sukaharja
Komposisi
musik Beksan Sukaharja diciptakan Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku
Buwana IX, tidak lama setelah belio dinobatkan menjadi putra mahkota, pada hari
senin tanggal, 27 bulan Jumadilakir 1790 tahun Jawa. Tari ini diciptakan pada
purna bangun pasanggrahan Langenharja, komposisi musik dan tari diselesaikan
pada 1802 tahun Jawa yang ditandai dengan Candrasengkala ( simbol ) “ Kembar
Kaluhuraning Sarira Nata “ atau pada tahun 1873. Dengan memberikan simbol dalam
bentuk kalimat diatas, Raja bermaksud menandai purna bangun pesanggrahan dan
pada waktu yang sama penciptaan komposisi musik dan beksan ( tari ). Kata
Langenharja artinya bahwa belio membangun Pesanggrahan sebagai tempat hiburan.
Jadi Pesanggrahan juga dapat menyediakan hiburan bagi masyarakat disekitarnya.
Nama Sukaharja yang diberikan pada komposisi musik dan tari tersebut mengandung
makna bahwa keberadaan Langenharja juga mengandung makna “ Hasesuka Karaharja “
yaitu untuk menciptakan kemakmuran dengan menciptakan komposisi musik dan tari.
Komposisi
musik dan beksan bedhaya sukaharja ditampilkan pertama kali di Pasanggrahan
Langenharja dan kemudian di Sasana Sewaka karaton Surakarta sebagai suatu
bentuk resepsi bagi para tamu dari Nedherlands, karena pada upacara pembukaan
pasanggrahan Langenharja, pemerintah Belanda tidak mempunyai kesempatan untuk
mengirimkan delegasinya. Nama lengkap tari yang diciptakan oleh Paku Buwana XI
adalah beksan bedhaya sukaharja, diiringi oleh komposisi musik gending
Sukaharja Laras Pelog Pathet Nem. Pada tahun 1988, putri Dra. GRAJ. Koes
Murtiyah, tanpa mengurangi gerakan dasar membuat sediki perubahan untuk
menyesuaikan tari dengan kondisi dan situasi yang berubah, atas ijin ayah
andanya, Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana XII.
Fragmen
Kusumayuda
Kusumayuda
merupaka tari drama yang didasarkan pada kisah Mahabarata. Tari ini diciptakan
oleh Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana V (1820-1823) di Karaton
Surakarta Hadiningrat. Tari ini menggambarkan dua serdadu dari keluarga
Pandawa: Raden Gathutkaca dan adiknya Raden Abimanyu, yang dalam perjalanan
mereka ke medan perang dihadang oleh sekelompok raksasa dari kerajaan Bantar
Angin. Dalam tari, Raden Abimanyu yang sedang bermeditasi, diganggu oleh
raksasa-raksasa itu dan akibatnya terjadilah pertempuran. Raksasa-raksasa itu
dapat dihancurkan setelah kedatangan Raden Gathutkaca.
Tari itu
menggambarkan bahwa dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita, manusia selalu
menghadapi gangguan-gangguan. Oleh karena itu, manusia harus mampu mengatasi
gangguan-gangguan itu untuk mencapai cita-cita yang mulia.
Pada masa
pemerintahan Sunan Paku Buwana X (1893-1939), sang Raja menyisipkan dialog
singkat untuk memperindah tarian ini.
Sendratari
Arjuna
Adegan
pertama menggambarkan situasi di negara Imaimantaka, dimana Prabu Niwatakawaca
sedang mengadakan pertemuan dengan patih Mamangmurka dan para serdadu
raksasanya. Dalam pertemuan itu, prabu Niwatakawaca mengungkapkan
kebahagiaannya karena ia berhasil mempersunting seorang puteri dari surga, Dewi
Prabasini. Akan tetapi, dibalik kebahagiaannya itu, Prabu Niwatakawaca merasa
cemas karena Dewi Prabasini telah memintanya untuk membatalkan perkawinan itu
meskipun sang prabu juga jatuh hati pada Dewi Supraba
Setelah
melakukan pertimbangan yang dalam, prabu Niwatakawaca mencari alasan bahwa para
dewa dari surga tidak akan pernah mengijunkan Dewi Supraba untuk menikah
dengannya dan para dewa itu akan mencari “seorang pahlawan “ untuk
menggantikannya. Pahlawan itu adalah Raden Arjuna yang sedang bermeditasi di
puncak gunung Indrakila. Prabu Niwatakawaca pergi kesurga untuk menemui para
dewa dan minta ijin untuk menikahi Dewi Supraba. Pada waktu yang sama, Patih
Mamangmurka pergi ke gunung Indrakila untuk membunuh Arjuna yang sedang
bemiditasi.
Adegan kedua
menggambarkan Arjuna yang sedang bemeditasi di gunung Indrakila, dimana dia
sedang digoda oleh jin dan hantu, tetapi mereka tidak berhasil. Kemudian para
dewa, yang sedang mencari Arjuna untuk menaklukan Niwatakawaca, mengutus para
Dewi dan malaikat untuk menggodanya untuk menguji ketulusan meditasinya. Namun
mereka juga tidak berhasil.
Kemudian
Patih Mamangmurka datang, kadang-kadang muncul sebagai celeng dan kadang-kadang
sebagai dirinya. Patih Mamangmurka berhasil menbangun Arjuna dengan usaha dan
ilmu sihirnya. Untuk mengalahkan Patih Mamangmurka, Arjuna memanahnya. Pada
waktu yang bersamaan, sebuah anak panah yang mirip dengan anak panah Arjuna
menancap ditubuh Patih Mamangmurka. Anak panah ini adalah milik ksatria tampan
bernama Keratapura, yang juga seorang pemburu celeng. Akhirnya, mereka berdebat
dan pertempuran antara keduanya pecah. Keretapura memenagkan pertempuran ini.
Arjuna sangat terkejut ketika dia tahu bahwa Keratapura adlah Bathara Guru yang
sedang menguji ketulusan dan minta maaf atas tindakannya, Bathara Guru
memberinya sebuah anak panah bernama”Pasopati”. Bersama dengan Dewi Supraba,
Arjuna kemudian berhasil menaklukan Niwatakawaca.
Dalam adegan
terakhir, Prabu Niwatakawaca sedang besenang-senang dinegaranya, setelah dia
kembali dari surga, karena para dewa berjanji untuk memberinya Dewi Supraba.
Dia tidak mengetahui bahwa hal itu hanyalah tipuan belaka. Tiba-tiba, Dewi
Supraba muncul dan mengatakan pada Prabu Niwatakawaca. Mendengarkan pernyataannya
itu, Prabu Niwatakawaca sangat bahagia dan bangga, sehingga ketika Dewi Supraba
menanyakan kelemahannya dengan setengah sadar Prabu Niwatakawaca berkata kbahwa
kelemahannya terletak pada bagian atas mulutnya yang disebut “ Aji
Ginengsokawedha”. Sehubungan dengan kegembiraannya, prabu Niwatakawaca tertawa
terbahak-bahak. Pada waktu itu Arjuna memanah Pasopatinya. Akhirnya
Niwatakawaca tewas dan kejahatan lenyap dari dunia.
Fragmen
Ramayana
Tari ini
diciptakan oleh Dra. GRAj. Koes Moertijah, putri Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Paku Buwana XII. Tarian ini menceritakan kisah Rama Wijaya putra mahkota
kerajaan Ayodya yang permaisurinya diculik oleh Raja Alengka, Prabu Rahwana.
Adegan
pertama berlangsung dikerajaan Alengka; Rahwana memerintahkan Kala Marica untuk
memperdayai Rama dan Lesmana, adik laki-laki Rama agar dia dapat menculuk
Sinta. Rahwana ynag tergila-gila pada Sinta dan dia percaya bahwa Sinta adalah
reinkarnasi dari Bathari Widawati.
Adegan kedua
berlangsung di hutan Dhandaka. Kala Marica menyamar menjadi Rusa Emas. Dia
dapat memisahkan Sinta dari Rama, akhirnya Rahwana berhasil melarikan Sinta.
Seekor burung bernama Jatayu, melihat Rahwana sedang membawa Sinta. Dengan
segera Jatayu menolong Sinta. Tetapi Jatayu kalah dalam pertempuran dan tewas
didepan Rama dan Lesmana. Lalu rama memerintahkan Anoman, kera putih, yang
diperintahkan Rama untuk menyampaikan sebuah cincin sebagai lambang kesetiannya,
datang dan mengatakan pada Sinta bahwa Rama dan serdadunya akan datang ke
Alengka untuk menyelamatkannya.
Adegan
berikutnya menggambarkan Sinta ditaman Soka di kerajaan Alengka. Dia ditemani
oleh Trijatha dan dia dipeksa untuk melayani rahwana tetapi dia tidak pernah
menurutinya. Setelah Rahwana pergi, Anoman datang untuk menyampaikan pesan Rama
pada Sinta. Sinta mengirimkan “Kancing gelug” sebagai lambang kesetiannya pada
Rama. Tetapi Anoman terlihat oleh serdadu Alengka. Kemudian pertempuran pecah.
Akhirnya Rahwana bertempur dengan anoman. Anoman hampir kalah, tetapi pada
akhirnya dia dapat meloloskan diri dari Alengka.
Beksan
Wireng Bandayuda
Beksan atau
tari ini diciptakan di bawah pemerintah Hingkang Sinuhunan Paku Buwana IV
(1787-1820) di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Tari ini
diilhami oleh Tari Wireng Lawung, yang diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram (1613-1645),
yang menggambarkan empat serdadu yang berlatih perang dengan menggunakan
tombak. Dalam Tari Wireng Bandayuda ini, tombak diganti dengan “Bhindi” atau
tongkat pendek yang digunakan dengan “Tameng” atau perisai yang terbuat dari
rotan.
Tari ini juga
mengandung makna simbolik tentang empat nafsu manusia: amarah, aluamah, supiah,
dan Mutmainah, yang secara bergantian mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh
karena itu, manusia harus selalu waspada dan mengendalikan nafsunya untuk
mencapai kehidupan yang sempurna.
Pada masanya
(1861-1893), Hingkang Kangjeng Susuhunan Paku Buwana IX memperkaya tari ini
dengan mengganti “Bhindi” dengan “Pedang” dan mengganti nama tarian itu menjadi
“BANDABAYA”.
Klana Topeng
Tari ini
diciptakan oleh Sunan Kalijaga, seorang pemimpin saleh yang mengajarkan Islam
di Jawa
Tarian ini
telah ada sejak periode Kerajaan Pajang, yang dilanjutkan hingga periode
Mataram, kemudian periode Kartasura hingga periode Surakarta. Pada
periode pemerintahan Paku Buwana V di karaton Surakarta (1820-1823),
tari-tarian yang berasal dari kisah Panji berkembang dengan pesat. Ada beberapa
tari dan drama yang diciptakan berdasar kisah Panji, seperti Klana Gandrung,
Klana Sembunglangu, Kilapawarna dan sebagainya. Tari Klana Topeng berkisah
tentang seorang Raja yang jatuh cinta kepada seorang puteri bernama Dewi
Sekartaji. Akan tetapi dalam tarian ini dewi Sekartaji tidak muncul.
Tari ini
melambangkan bahwa manusia yang hidup didunia ini seharusnya jangan
menginginkan sesuatu yang di luar kemampuannya. Tari ini mengingatkan kita
untuk mengoreksi diri melalui kemampuan dan kelemahan kita untuk mencapai
cita-cita. Dalam perkembangannya, tari Klana dapat ditarikan tanpa menggunakan
topeng
Fragmen
Panji Topeng Kilapawarna
Tarian ini
diciptakan pada masa Hingkang Sinuhun Kangjeng Paku Buwana V (1820-1923).
Dewi
Kumudaningrat, putri raja Ngurawan mengadakan lomba untuk menghindari
pernikahaannya dengan Raja Bantarangin, Prabu Klana Sewadana. Sang putri dapat
memenuhi keinginan Prabu Klana jika sang putri didampingi seorang ksatria
tampan tanpa cacat pada pesta perkawinan itu. Pada waktu yang sama seorang
putri Kediri Dewi Candrakirana, menghilang entah kemana karena dia sangat
kehilangan kekasihnya, Raden Panji Hinukertapati, putra Raja Jenggala.
Sebenarnya Sang Puteri menghilang atas kehendak Dewata .
Sang putri
menjadi seorangh pria tampan bernama Kilaparwana, dengan pesan untuk membantu
orang lain. Raden Panji Hinupakarti yang sedang berdukacita yang dalam sedang
mencari Dewi Candrakirana. Atas keinginan Jawata, dia diperintahkan untuk
mengabdi di Kerajaan Ngurawan, dengan menyamar sebagai Demang Turibang bersama
dengan adik laki-lakinya, Panji Anom, yang menyamar sebagai Sinom Pradaoa.
Ditaman Ngurawan Panji Anom bertemu Kumudaningrat, dan dia muncul sebagai dirinya
sendiri ketika mereka saling jatuh cinta. Pada waktu yang sama Klana Sewadhana
datang bersama Demnag Turibang, ksatria tampan tanpa cacat yang akan
menemaninya dalam perkawinannya dengan Kumudaningrat. Prabu Klana sangat sedih
ketika melihat Panji Anom intim dengan Kumudaningrat.
Dia
menyerang Panji Anom. Demang Turibang terkejut dan dia mengubah dirinya kembali
sebagai Panji Hinukaparti. Mereka berdua bertempur melawan Ngurawan.
Hinupakarti bertemu dangan Candrakirana dan Panji Anom mendapatkan Kumudaingrat.
Beksan
Wireng Gathutkaca Gandrung
Beksan Wireng Lawung
Tari ini
dicipkatan oleh Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana IV
(1787-1820). Beksa Wireng seorang ksatria dari keluarga Pandawa : Raden
Gathutkaca yang jatuh cinta pada Dewi Pregiwa. Tari ini
menunjukkan kekuatan seorang ksatria ketika dia jatuh cinta. Penari
melantunkan puisi, yang melambangkan kerinduan kepada kekasihnya.Tari ini
mengingatkan manusia agar waspada terhadap segala sesuatunya yang dapat
memperlemah kekuatannya.
|
Tari ini
merupakan salah satu bentuk dari beberapa tari Wireng. Tari merupakan warisan
dari tari-tari yang diciptakan oleh Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo di
Karaton Mataram tahun 1613-1645. Tari ini menggambarkan latihan perang
oleh empat orang serdadu dengan menggunakan tombak. Tari ini menunjukkan
keindahan gerakan para serdadu yang menggunakan tombak. Tari ini dipengaruhi
oleh kepahlawanan Sultan Agung, yang dengan gigih mempertahankan bangsa dan
negaranya.Beksan
|
Wireng
Lawung juga mempunyai makna simbolik tentang keberadaan empat nafsu manusia
yang secara bergantian mempengaruhi kehidupan manusia. Tari ini
mengingatkan kita bahwa manusia harus mampu mengendalikan. Dalam masa
pemerintahan Sunan Paku Buwana X tarian ini diperpendek sehingga tidak membosankan.
Beksan
Pethilan Srikandi Mustakaweni
Tari ini
dibawakan oleh para wanita yang menari berpasangan. Tari ini berkisah tentang
dua putri raja dari kisah Mahabarata: Srikandi (istri Arjuna) yang
diperintahkan oleh Kresna untuk mencari pencuri “Jimat Kalimasada” yang bernama
Mustakaweni. Sewaktu keduanya saling bertatap muka, mereka adu kekuatan gaib.
Tetapi tidak satupun yang menang.
Tari ini
juga menggambarkan dua kekuatan dari putri raja yang berasal dari satu
keluarga. Tari ini diciptakan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana XII.
Beksan
Wireng Garudha Yakso
Tari ini
menggambarkan seorang raja dari Alengka: Rahwana yang jatuh cinta pada Sinta,
tetapi cintanya tidak pernah disambut. Tari ini menggambarkan keberanian dan
kekuatan seorang raja ketika dia jatuh cinta dengan seorang wanita. Tarian ini
diciptakan oleh R.T. Tondo Kusumo atau S. Maridi. Pada waktu Kangjeng Susuhunan
Paku Buwana XII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar