Rabu, 26 November 2014

Seni Tari(beksan)
Karaton Kasunanan

Seni tari di Karaton Kasunanan Surakarta bukan semata olah gerak yang estitis saja, tetapi juga merupakan olah gerak batin, para penari juga dibekali dengan olah gerak maupun irama batin yang seimbang apalagi kalau sudah menarikan tarian klasik ( Bedhaya yang dianggap sakral itu ) seni tari dalam bahasa disebut “ Kagunan Beksa “ menurut etimologi Jawa berarti “ Hambeging Roso “ yaitu nuasa rasa sebagai jiwa didalam rasa yang diekpresikan dalam suatu gerak.  
Adapun jenis-jenis tari yang dipandang sebagai hasil budaya karaton yaitu :  
Description: http://karatonsurakarta.com/Tari_beksan1.gif
Bedhaya Anglirmendhung
Selain bedhaya ketawang di Karaton Surakarta dikenal pula Bedhaya Anglirmendung. Tari ini menurut RT. Warsodiningrat juga memiliki kemanak, katanya asal Mangkunegara sisa dari Anglirmendung. KGPH Hadiwijaya berpendapat kalau tidak salah Anglirmendung itu adiknya “ Bedhya Ketawang “ ditilik dengan adanya persamaan yang seprinsip :
a.       Nama ( anglir ) mendhung = awan, terdapat dari mendhung = awan adalah langit (ke) tawang = langit, kurungnya mendung = awan.
b.      Kemanak sama-sama ngangkang, bersuara menggema nyaring.
c.       Joged = tariannya sama-sama 3 babak. Anglirmendung adegan pertama = babak pertama juga kendang besar, lungit, tenteram, regu, wingit, eznsting.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Anglirmendhung itu “ adik “ disebabkan Katwang itu suatu Bedhaya yang penarinya 9 sudah dewasa, keluarnya setahun hanya sekali di Pendapa Agung Sasanasewaka ( trohwhaal ) yang menghadap nagkil dalam keadaan berpakaian kebesaran. Anglirmendung, srimpi seniwatinya hanya 4 masih perawan jumagar ( remaja putri ), gebyagannya sewaktu-waktu dan tempatnya sekehendak saja. Yang terpenting sekali bahwa kedua-duanya sama-sama melati berkekuatan gaib serta bertuah. Menurut keterangan RT. Warsodiningrat Anglirmendung itu hanya pada jaman Surakarta saja, gubahan KGPAA Mangkunegara I dinamakan Bedhaya, penariwati 7. Kemudian dipersembahkan ke Karaton Surakarta, kemudian oleh Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV dijadikan srimpi.
GPH Puger menjelaskan bahwa Anglirmendung itu harusnya banyak. Bedhaya kalau dilihat dari perkataannya sendiri seperti itu Anglir seperti Mendhung. Mendhung sendiri sudah jelas “ wis ngarani “ kalau cara Jawa seperti “ dung “ sendiri kita bisa menginterprestasikan seperti mendung. Daya tariannya justru remang, mendung sendiri bersifat remang-remang. Atau diluar gerak lalu ke konteks, mungkin didalam simbolnya menceritakan kesedihan. Menurut catatan yang tersimpan di peroustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, sejak jaman RM. Garendi di Kartasura, setiap memperingati Wiyosandalem, gending Ketawang Alit Anglir Mendung menjadi iringan baku dalam upacara Wilujengan Wiyosandalem.
Catatan sejarah menjelaskan bahwa gending Ketawang Ali Anglir Mendung itu dimulai sejak jaman Pangeran Sambernyawa menjadi KGPAA Mangkunegara I, dan seterusnya diikuti oleh Mangkunegara II dan III, gending ketawang alit anglir mendung dan sekaligus penarinya menjadi Pusaka Pura Mangkunegaran. Bedhaya ini merupakan langen praja adi dan dipentaskan setahun sekali bertepatan dengan Wiyosandalem Ingkang Jumeneng Mangkunegara di Pendapa mangkunegaran.
Pada pemerintahan KGPAA Mangkunegara I yang didampingi oleh anak Tumenggung Mlayakusuma, yaitu Kyai Secakarmo dan Kyai Kidangwulung, pada saat itulah kedua pendamping KGPAA Mangkunegara I itu mampu menciptakanBedhaya Anglir Mendung. Karena jasanya itu oleh KGPAA Mangukenegara II, kyai Secakarmo dan adiknya Kyai Kidangwulung diangkat menjadi Demang didaerah Kabupaten Sukoharjo. Dan akhirnya keduanya meninggal dimakamkan diastana nguter dan astana Baron. Hingga sekarang makam Secakarma menjadi pepundhen para dalang dan seni karawitan, sedang makam kyai Kidangwulung menjadi pepundhen para penari dan seniwati. Pada pemerintahan KGPAA Mangkunegara III, gending Anglir Mendung gemanya berkurang, lalu Surakarta Hadiningrat muncul gending Srimpi Anglir Mendung, yang penarinya berjumlah 4 orang.
Pada saat Ingkang Sinuhun Paku Buwana V ( 1784 – 1823 ) yang memang berdarah Madura, karena baginda adalah putera Ingkang Sinuhun PB IV dengan permaisurinya Kanjeng Ratu Adipati Anom, puteri Raden Adipati Cakraningrat, bupati Pemekasan Madura dicipatkan tarian Srimpi India Madura. Bedhaya dan srimpi tersebut di atas hingga sekarang masih dilestarikan oleh Karaton Surakarta. Untuk pembinaan setiap hari minggu di bangsal Marakata dilaksanakan pelajaran menari untuk umum ( anak dana dewasa ) dengan bimbingan GRA Koesmurtiyah. Dan pada hari selasa kliwon menjelang Jumenengan Dalem dilaksankan latihan Beksan Bedhaya Ketawang di pendapa Sasanasewaka. Dengan dilestarikannya jenis tari yang bersifat sakral, religius dan magnis itu membawa daya tarik tertentu bagi para wisatawan untuk menikmati dan menghayati secara langsung maupun tidak langsung ( melalui rekaman vidio ) serta mewarnai jenis tari Srimpi yang berada diluar Karton, terutama dalam menyambut tamu di pertemuan-pertemuan resmi atau resepsi perkawinan.


Bedhaya Pangkur.
Sebelum tari ini diciptakan, iringan musiknya terlebih dulu. Komposisi musik ini disebut “ Gendhing Kemanak Raras Slendro Pathet Pangkur “ dengan lirik “ Sekar Macapat Pangkur “, yang diciptakan oleh Sri Sunan Paku Buwana I pada tahun 1705 – 1710. Kemudian tari Bedhaya diciptakan oleh Sunan Paku Buwana IV ( 1987 – 1820 ) selaras musik yang mengiringinya. Dengan berjalannya waktu, tari ini mengalami banyak penambahan dan selama pemerintahan Sunan Paku Buwana X ( 1893 – 1939 ), liriknya mengalami adaptasi bahasa. Dan tari yang akan diperagakan ini merupakan ciptakan terakhir dari masa Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana X di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Selain menunjukkan keindahan gerakan dan puisi tentang percintaan, Bedhaya Pangkur ini, seperti tari-tari Bedhaya lainnya juga mempunyai makna simbolis, misalnya bahwa manusia di dunia ini harus selalu mampu mengendalikan keinginannya sehingga dia dapat memperoleh kehidupan yang baik hingga akhir hayatnya. Keinginan manusia digambarkan 9 penari wanita sebagai perlambang dari 9 lubang dibagian dalam tubuh manusia yang mengendalikan keinginan manusia.
Bedhaya Duradasih.  
Description: http://karatonsurakarta.com/Tari_beksan2.jpg
Tari bedhaya duradasih ini diciptakan oleh Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IV, sebelum belio menjadi Raja di Karaton Surakarta. Pada waktu itu, belio masih bernama Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Amengkunagara. Nama “ Duradasih “ muncul pada waktu Paku Buwana IV menjadi putra Mahkota. Ayah andanya, Paku Buwana III memerintahkannya untuk mempersunting Raden Ajeng Handaya, seorang putri dari Madura, yang pada mulanya menolak, tetapi pada akhirnya sang putri jatuh hati padanya. Kisah ini digambarkan dalam tari Bedhaya Duradasih. Tari bedhaya duradasih mempunyai ciri yang istimewa karena tari ini di iringi instrumen yang disebut “ Kamanak “. Instrumen ini berbentuk pisang ( tong-tong ) dengan lubang panjang yang terbuat dari perunggu dan diciptakan pada tanggal, 30 bulan Dulkaidah 1707 tahun Jawa. 
Selain menunjukkan keindahan gerakan dan lirik, tari bedhaya duradasih ini mengandung pesan bahwa manusia harus mampu mengendalikan keinginannya agar dia dapat memperoleh kehidupan yang sempurna. 
Keinginan itu dilambangkan oleh 9 penari wanita yang melambangkan 9 lubang di dalam tubuh yang mengendalikan keinginan manusia
Beksan Bedhaya Sukaharja
Komposisi musik Beksan Sukaharja diciptakan Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX, tidak lama setelah belio dinobatkan menjadi putra mahkota, pada hari senin tanggal, 27 bulan Jumadilakir 1790 tahun Jawa. Tari ini diciptakan pada purna bangun pasanggrahan Langenharja, komposisi musik dan tari diselesaikan pada 1802 tahun Jawa yang ditandai dengan Candrasengkala ( simbol ) “ Kembar Kaluhuraning Sarira Nata “ atau pada tahun 1873. Dengan memberikan simbol dalam bentuk kalimat diatas, Raja bermaksud menandai purna bangun pesanggrahan dan pada waktu yang sama penciptaan komposisi musik dan beksan ( tari ). Kata Langenharja artinya bahwa belio membangun Pesanggrahan sebagai tempat hiburan. Jadi Pesanggrahan juga dapat menyediakan hiburan bagi masyarakat disekitarnya. Nama Sukaharja yang diberikan pada komposisi musik dan tari tersebut mengandung makna bahwa keberadaan Langenharja juga mengandung makna “ Hasesuka Karaharja “ yaitu untuk menciptakan kemakmuran dengan menciptakan komposisi musik dan tari.
Komposisi musik dan beksan bedhaya sukaharja ditampilkan pertama kali di Pasanggrahan Langenharja dan kemudian di Sasana Sewaka karaton Surakarta sebagai suatu bentuk resepsi bagi para tamu dari Nedherlands, karena pada upacara pembukaan pasanggrahan Langenharja, pemerintah Belanda tidak mempunyai kesempatan untuk mengirimkan delegasinya. Nama lengkap tari yang diciptakan oleh Paku Buwana XI adalah beksan bedhaya sukaharja, diiringi oleh komposisi musik gending Sukaharja Laras Pelog Pathet Nem. Pada tahun 1988, putri Dra. GRAJ. Koes Murtiyah, tanpa mengurangi gerakan dasar membuat sediki perubahan untuk menyesuaikan tari dengan kondisi dan situasi yang berubah, atas ijin ayah andanya, Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana XII.
Fragmen Kusumayuda
Kusumayuda merupaka tari drama yang didasarkan pada kisah Mahabarata. Tari ini diciptakan oleh Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana V (1820-1823) di Karaton Surakarta Hadiningrat. Tari ini menggambarkan dua serdadu dari keluarga Pandawa: Raden Gathutkaca dan adiknya Raden Abimanyu, yang dalam perjalanan mereka ke medan perang dihadang oleh sekelompok raksasa dari kerajaan Bantar Angin. Dalam tari, Raden Abimanyu yang sedang bermeditasi, diganggu oleh raksasa-raksasa itu dan akibatnya terjadilah pertempuran. Raksasa-raksasa itu dapat dihancurkan setelah kedatangan Raden Gathutkaca.
Tari itu menggambarkan bahwa dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita, manusia selalu menghadapi gangguan-gangguan. Oleh karena itu, manusia harus mampu mengatasi gangguan-gangguan itu untuk mencapai cita-cita yang mulia.
Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X (1893-1939), sang Raja menyisipkan dialog singkat untuk memperindah tarian ini.
Sendratari Arjuna
Adegan pertama menggambarkan situasi di negara Imaimantaka, dimana Prabu Niwatakawaca sedang mengadakan pertemuan dengan patih Mamangmurka dan para serdadu raksasanya. Dalam pertemuan itu, prabu Niwatakawaca mengungkapkan kebahagiaannya karena ia berhasil mempersunting seorang puteri dari surga, Dewi Prabasini. Akan tetapi, dibalik kebahagiaannya itu, Prabu Niwatakawaca merasa cemas karena Dewi Prabasini telah memintanya untuk membatalkan perkawinan itu meskipun sang prabu juga jatuh hati pada Dewi Supraba
Setelah melakukan pertimbangan yang dalam, prabu Niwatakawaca mencari alasan bahwa para dewa dari surga tidak akan pernah mengijunkan Dewi Supraba untuk menikah dengannya dan para dewa itu akan mencari “seorang pahlawan “ untuk menggantikannya. Pahlawan itu adalah Raden Arjuna yang sedang bermeditasi di puncak gunung Indrakila. Prabu Niwatakawaca pergi kesurga untuk menemui para dewa dan minta ijin untuk menikahi Dewi Supraba. Pada waktu yang sama, Patih Mamangmurka pergi ke gunung Indrakila untuk membunuh Arjuna yang sedang bemiditasi.
Adegan kedua menggambarkan Arjuna yang sedang bemeditasi di gunung Indrakila, dimana dia sedang digoda oleh jin dan hantu, tetapi mereka tidak berhasil. Kemudian para dewa, yang sedang mencari Arjuna untuk menaklukan Niwatakawaca, mengutus para Dewi dan malaikat untuk menggodanya untuk menguji ketulusan meditasinya. Namun mereka juga tidak berhasil.
Kemudian Patih Mamangmurka datang, kadang-kadang muncul sebagai celeng dan kadang-kadang sebagai dirinya. Patih Mamangmurka berhasil menbangun Arjuna dengan usaha dan ilmu sihirnya. Untuk mengalahkan Patih Mamangmurka, Arjuna memanahnya. Pada waktu yang bersamaan, sebuah anak panah yang mirip dengan anak panah Arjuna menancap ditubuh Patih Mamangmurka. Anak panah ini adalah milik ksatria tampan bernama Keratapura, yang juga seorang pemburu celeng. Akhirnya, mereka berdebat dan pertempuran antara keduanya pecah. Keretapura memenagkan pertempuran ini. Arjuna sangat terkejut ketika dia tahu bahwa Keratapura adlah Bathara Guru yang sedang menguji ketulusan dan minta maaf atas tindakannya, Bathara Guru memberinya sebuah anak panah bernama”Pasopati”. Bersama dengan Dewi Supraba, Arjuna kemudian berhasil menaklukan Niwatakawaca.
Dalam adegan terakhir, Prabu Niwatakawaca sedang besenang-senang dinegaranya, setelah dia kembali dari surga, karena para dewa berjanji untuk memberinya Dewi Supraba. Dia tidak mengetahui bahwa hal itu hanyalah tipuan belaka. Tiba-tiba, Dewi Supraba muncul dan mengatakan pada Prabu Niwatakawaca. Mendengarkan pernyataannya itu, Prabu Niwatakawaca sangat bahagia dan bangga, sehingga ketika Dewi Supraba menanyakan kelemahannya dengan setengah sadar Prabu Niwatakawaca berkata kbahwa kelemahannya terletak pada bagian atas mulutnya yang disebut “ Aji Ginengsokawedha”. Sehubungan dengan kegembiraannya, prabu Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Pada waktu itu Arjuna memanah Pasopatinya. Akhirnya Niwatakawaca tewas dan kejahatan lenyap dari dunia.
Fragmen Ramayana
Tari ini diciptakan oleh Dra. GRAj. Koes Moertijah, putri Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana XII. Tarian ini menceritakan kisah Rama Wijaya putra mahkota kerajaan Ayodya yang permaisurinya diculik oleh Raja Alengka, Prabu Rahwana.
Adegan pertama berlangsung dikerajaan Alengka; Rahwana memerintahkan Kala Marica untuk memperdayai Rama dan Lesmana, adik laki-laki Rama agar dia dapat menculuk Sinta. Rahwana ynag tergila-gila pada Sinta dan dia percaya bahwa Sinta adalah reinkarnasi dari Bathari Widawati.
Adegan kedua berlangsung di hutan Dhandaka. Kala Marica menyamar menjadi Rusa Emas. Dia dapat memisahkan Sinta dari Rama, akhirnya Rahwana berhasil melarikan Sinta. Seekor burung bernama Jatayu, melihat Rahwana sedang membawa Sinta. Dengan segera Jatayu menolong Sinta. Tetapi Jatayu kalah dalam pertempuran dan tewas didepan Rama dan Lesmana. Lalu rama memerintahkan Anoman, kera putih, yang diperintahkan Rama untuk menyampaikan sebuah cincin sebagai lambang  kesetiannya, datang dan mengatakan pada Sinta bahwa Rama dan serdadunya akan datang ke Alengka untuk menyelamatkannya.
Adegan berikutnya menggambarkan Sinta ditaman Soka di kerajaan Alengka. Dia ditemani oleh Trijatha dan dia dipeksa untuk melayani rahwana tetapi dia tidak pernah menurutinya. Setelah Rahwana pergi, Anoman datang untuk menyampaikan pesan Rama pada Sinta. Sinta mengirimkan “Kancing gelug” sebagai lambang kesetiannya pada Rama. Tetapi Anoman terlihat oleh serdadu Alengka. Kemudian pertempuran pecah. Akhirnya Rahwana bertempur dengan anoman. Anoman hampir kalah, tetapi pada akhirnya dia dapat meloloskan diri dari Alengka.
Beksan Wireng Bandayuda
Beksan atau tari ini diciptakan di bawah pemerintah Hingkang Sinuhunan Paku Buwana IV (1787-1820) di Karaton Surakarta Hadiningrat.
Tari ini diilhami oleh Tari Wireng Lawung, yang diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram (1613-1645), yang menggambarkan empat serdadu yang berlatih perang dengan menggunakan tombak. Dalam Tari Wireng Bandayuda ini, tombak diganti dengan “Bhindi” atau tongkat pendek yang digunakan dengan “Tameng” atau perisai yang terbuat dari rotan.
Tari ini juga mengandung makna simbolik tentang empat nafsu manusia: amarah, aluamah, supiah, dan Mutmainah, yang secara bergantian mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia harus selalu waspada dan mengendalikan nafsunya untuk mencapai kehidupan yang sempurna.
Pada masanya (1861-1893), Hingkang Kangjeng Susuhunan Paku Buwana IX memperkaya tari ini dengan mengganti “Bhindi” dengan “Pedang” dan mengganti nama tarian itu menjadi “BANDABAYA”.
Klana Topeng
Tari ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, seorang pemimpin saleh yang mengajarkan Islam di Jawa
Tarian ini telah ada sejak periode Kerajaan Pajang, yang dilanjutkan hingga periode Mataram, kemudian periode Kartasura  hingga periode Surakarta. Pada periode pemerintahan Paku Buwana V di karaton Surakarta (1820-1823), tari-tarian yang berasal dari kisah Panji berkembang dengan pesat. Ada beberapa tari dan drama yang diciptakan berdasar kisah Panji, seperti Klana Gandrung, Klana Sembunglangu, Kilapawarna dan sebagainya. Tari Klana Topeng berkisah tentang seorang Raja yang jatuh cinta kepada seorang puteri bernama Dewi Sekartaji. Akan tetapi dalam tarian ini dewi Sekartaji tidak muncul.
Tari ini melambangkan bahwa manusia yang hidup didunia ini seharusnya jangan menginginkan sesuatu yang di luar kemampuannya. Tari ini mengingatkan kita untuk mengoreksi diri melalui kemampuan dan kelemahan kita untuk mencapai cita-cita. Dalam perkembangannya, tari Klana dapat ditarikan tanpa menggunakan topeng
Fragmen Panji Topeng Kilapawarna
Tarian ini diciptakan pada masa Hingkang Sinuhun Kangjeng Paku Buwana V (1820-1923).
Dewi Kumudaningrat, putri raja Ngurawan mengadakan lomba untuk menghindari pernikahaannya dengan Raja Bantarangin, Prabu Klana Sewadana. Sang putri dapat memenuhi keinginan Prabu Klana jika sang putri didampingi seorang ksatria tampan tanpa cacat pada pesta perkawinan itu. Pada waktu yang sama seorang putri Kediri Dewi Candrakirana, menghilang entah kemana karena dia sangat kehilangan kekasihnya, Raden Panji Hinukertapati, putra Raja Jenggala. Sebenarnya Sang Puteri menghilang atas kehendak Dewata .
Sang putri menjadi seorangh pria tampan bernama Kilaparwana, dengan pesan untuk membantu orang lain. Raden Panji Hinupakarti yang sedang berdukacita yang dalam sedang mencari Dewi Candrakirana. Atas keinginan Jawata, dia diperintahkan untuk mengabdi di Kerajaan Ngurawan, dengan menyamar sebagai Demang Turibang bersama dengan adik laki-lakinya, Panji Anom, yang menyamar sebagai Sinom Pradaoa. Ditaman Ngurawan Panji Anom bertemu Kumudaningrat, dan dia muncul sebagai dirinya sendiri ketika mereka saling jatuh cinta. Pada waktu yang sama Klana Sewadhana datang bersama Demnag Turibang, ksatria tampan tanpa cacat yang akan menemaninya dalam perkawinannya dengan Kumudaningrat. Prabu Klana sangat sedih ketika melihat Panji Anom intim dengan Kumudaningrat.
Dia menyerang Panji Anom. Demang Turibang terkejut dan dia mengubah dirinya kembali sebagai Panji Hinukaparti. Mereka berdua bertempur melawan Ngurawan. Hinupakarti bertemu dangan Candrakirana dan Panji Anom mendapatkan Kumudaingrat.
Beksan Wireng Gathutkaca Gandrung                                                                     Beksan Wireng Lawung  
Tari ini dicipkatan oleh Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana IV (1787-1820). Beksa Wireng seorang ksatria dari keluarga Pandawa : Raden Gathutkaca yang jatuh cinta pada Dewi  Pregiwa. Tari ini menunjukkan kekuatan seorang ksatria ketika dia jatuh cinta. Penari melantunkan puisi, yang melambangkan kerinduan kepada kekasihnya.Tari ini mengingatkan manusia agar waspada terhadap segala sesuatunya yang dapat memperlemah kekuatannya.  
Tari ini merupakan salah satu bentuk dari beberapa tari Wireng. Tari merupakan warisan dari tari-tari yang diciptakan oleh Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo di Karaton Mataram tahun 1613-1645. Tari ini menggambarkan latihan perang oleh empat orang serdadu dengan menggunakan tombak. Tari ini menunjukkan keindahan gerakan para serdadu yang menggunakan tombak. Tari ini dipengaruhi oleh kepahlawanan Sultan Agung, yang dengan gigih mempertahankan bangsa dan negaranya.Beksan 
Wireng Lawung juga mempunyai makna simbolik tentang keberadaan empat nafsu manusia yang secara bergantian mempengaruhi kehidupan manusia. Tari ini mengingatkan kita bahwa manusia harus mampu mengendalikan. Dalam masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X tarian ini diperpendek sehingga tidak membosankan.
Beksan Pethilan Srikandi Mustakaweni
Tari ini dibawakan oleh para wanita yang menari berpasangan. Tari ini berkisah tentang dua putri raja dari kisah Mahabarata: Srikandi (istri Arjuna) yang diperintahkan oleh Kresna untuk mencari pencuri “Jimat Kalimasada” yang bernama Mustakaweni. Sewaktu keduanya saling bertatap muka, mereka adu kekuatan gaib. Tetapi tidak satupun yang menang.
Tari ini juga menggambarkan dua kekuatan dari putri raja yang berasal dari satu keluarga. Tari ini diciptakan pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana XII.
Beksan Wireng Garudha Yakso
Tari ini menggambarkan seorang raja dari Alengka: Rahwana yang jatuh cinta pada Sinta, tetapi cintanya tidak pernah disambut. Tari ini menggambarkan keberanian dan kekuatan seorang raja ketika dia jatuh cinta dengan seorang wanita. Tarian ini diciptakan oleh R.T. Tondo Kusumo atau S. Maridi. Pada waktu Kangjeng Susuhunan Paku Buwana XII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar